Type Here to Get Search Results !

AKTOR UTAMA TRAGEDI 98

0

Terobosan atau titik terang bagi usaha menemukan pelaku di balik Kerusuhan 13-14 Mei 1998 baru mulai terjadi dengan penerbitan memoar Prof. Salim Said pada tahun 2013. Prof. Salim Said adalah ahli politik militer terbaik di Indonesia. Beliau juga pernah menjadi redaktur majalah Tempo dan terkenal dekat dengan kalangan ABRI sehingga tidak perlu ada keraguan akan kebenaran dan kredibilitas dari informasi yang disampaikan. Salah satu informasi menarik dari buku Prof. Salim Said ada pada halaman 316, di mana dikisahkan pertemuan di rumah Fahmi Idris yang dihadiri oleh Cosmas Batubara, dr. Abdul Ghafur, Firdaus Wajdi, Soerjadi, Sofjan Wanandi, Husni Thamrin, Benny Moerdani dan tokoh lain. Dalam pertemuan tersebut Benny Moerdani yang saat itu menjabat sebagai Menhamkam berbicara bahwa Presiden Soeharto sudah tua dan pikun sehingga sudah waktunya diganti. Benny Moerdani kemudian berbicara mengenai gerakan massa yang akan mengejar orang Cina dan Gereja sebagai jalan menurunkan Soeharto. Ide Benny Moerdani tersebut ditolak oleh orang-orang yang hadir sehingga disepakati bahwa cara mengganti Presiden Soeharto dilakukan dengan cara konstitusional, dalam arti lewat Sidang MPR.

Keterangan dari Prof. Salim Said di atas membongkar jati diri seorang Benny Moerdani yang oleh teman-teman dekatnya, termasuk Julius Pour, pembuat biografinya selalu dikatakan bahwa Benny Moerdani adalah seorang loyalis Soeharto yang tulen dan setia sampai mati. Narasi pembelaan tentang Benny Moerdani juga sering melukiskan dirinya sebagai seseorang yang penuh tragedi dan sering memperoleh penilaian secara tidak adil karena nama Benny Moerdani kerap ditampilkan paling depan untuk menerima tuduhan sebagai dalang yang melakukan rekayasa seolah Benny Moerdani adalah biang keladi segala bencana. Fakta baru ini juga semakin menegaskan bahwa upaya fraksi ABRI mengganjal pencalonan Sudharmono sebagai wapres periode 1988 s.d. 1993 dan penempatan Try Sutrisno sebagai wapres periode 1993 s.d. 1998 memang didalangi oleh kelompok Benny Moerdani. Terakhir, terbukti bahwa kerusuhan sebagai jalan menjungkal lawan adalah strategi favorit kelompok binaan Pater Beek di CSIS. KAP Gestapu melakukannya ketika menurunkan Soekarno; Ali Moertopo menjalankan strategi ini saat menjegal Jenderal Soemitro; Benny Moerdani mengebom BCA untuk membungkam kelompok Petisi 50; dan lain sebagainya.

Tapi pertanyaan yang perlu dijawab adalah: apa penyebab Benny Moerdani berubah haluan, dari anjing penjaga Presiden Soeharto yang setia menjadi berkonspirasi menurunkan Presiden Soeharto?

Jawabannya ada pada tulisan Rachmawati Soekarnoputri yang dimuat oleh Harian Rakyat Merdeka edisi 31 Juli 2002 dan 1 Agustus 2002. Dalam tulisan tersebut Rachmawati Soekarnoputri menulis tentang bagaimana Benny Moerdani sakit hati dan dendam kepada Soeharto setelah dicopot mendadak dari posisi Panglima ABRI. Sesaat setelah peristiwa tersebut, Benny Moerdani mendekati keluarga Soekarno dengan maksud menaikan salah seorang dari mereka ke pucuk pimpinan Partai Demokrasi Indonesia dan kemudian menggantikan Presiden Soeharto. Ternyata Megawati Soekarnoputri dan Taufik Kiemas tertarik pada tawaran Benny Moerdani tersebut ,padahal hal itu melanggar konsensus bersama putra-putri Soekarno untuk tidak terjun berpolitik. Secara tersirat, keterangan Rachmawati Soekarnoputri tersebut dibenarkan oleh Megawati Soekarnoputri dalam halaman 229 s.d. 230 dari buku LB Moerdani, Langkah dan Perjuangan yang dikutip sebagai berikut:

“Rekaman lain yang berkesan, ketika Pak Benny bertemu dengan kami, putra-putri Bung Karno. Setelah bapak tidak menjadi Presiden lagi, kami tidak pernah datang ke HUT Kemerdekaan RI setiap tanggal 17 Agustus, karena kami protes keras soal Ibu kami almarhum, Ibu Fatmawati, yang tidak pernah menerima undangan 17 Agustus. Perkiraan kami karena Ibu, isteri Bapak...

Ketika Pak Benny datang, saya melihat beliau sebagai orang yang sulit untuk tersenyu,, tetapi setelah suasana cair, ternyata beliau bisa membuat humor maupun guyon.

Pak Benny-lah yang membujuk dan mencoba meyakinkan kami untuk datang ke HUT Proklamasi dan berhasil, kami datang ke HUT 17 Agustus. Setelah itu mulailah proses menjalin dan terjalin hubungan dengan Pak Benny. Kami berdua menjadi akrab, baik sebagai anak dan bapak, teman atau sahabat, terutama sebagai sesama warga negara yang selalu ingin membagi pikiran dan perasaan bagi kejayaan bangsa Indonesia... ”

Terungkapnya rencana Benny Moerdani mengganti Presiden Soeharto dengan salah satu anak Soekarno, dalam hal ini Megawati Soekarnoputri, menggunakan bendera PDI membuka tabir misteri seorang Benny Moerdani membiarkan konvoi jutaan massa PDI di Jakarta dengan membawa atribut Soekarno pada tahun 1988 dengan alasan demokrasi. Bukan itu saja, hubungan gelap antara Benny Moerdani dan Megawati Soekarnoputri juga membongkar sebuah misteri besar yaitu Peristiwa 27 Juli 1996 dan alasan Megawati Soekarnoputri menolak menyelidiki ketika menjadi presiden. Anehnya lagi, Peristiwa 27 Juli 1996 bahkan tidak termasuk kasus pelanggaran HAM yang akan diselesaikan oleh pemerintahan Jokowi-JK.

Tentu saja alasan Megawati Soekarnoputri menolak menyelidiki Peristiwa 27 Juli 1996 sekalipun hal itu sempat menimbulkan perpecahan di internal elit PDIP ada hubungan dengan kesaksian Robert Odjahan Tambunan dalam buku tulisannya: Otobiografi Politik RO Tambunan: Membela Kesaksian, di mana dia mengungkap bahwa Megawati Soekarnoputri bisa mencegah jatuhnya korban dalam Peristiwa 27 Juli 1996 karena sudah menerima informasi akan datangnya penyerbuan dari Benny Moerdani beberapa hari sebelumnya, tapi ternyata Megawati lebih memilih kepentingan politik ketimbang kemanusiaan. Megawati Soekarnoputri juga sempat menyogok para korban yang berkumpul di Kelompok 124 supaya tidak menuntut TNI, dan yang lebih aneh lagi, Megawati Soekarnoputri yang terkenal pendendam itu justru memberi jabatan tinggi kepada perwira TNI seperti Sutiyoso dan SBY yang terlibat penyerbuan Kantor PDI waktu itu. Perlu dicatat bahwa Tempo juga pernah menurunkan laporan tentang pengetahuan Megawati Soekarnoputri dari Benny Moerdani akan adanya penyerbuan ke kantor PDI.

Kunci membuka keanehan sikap Megawati Soekarnoputri yang jarang menghadiri peringatan Peristiwa 27 Juli 1996 itu adalah kesepakatan rahasia antara Megawati Soekarnoputri dan Benny Moerdani untuk menurunkan Presiden Soeharto menggunakan anak dari keluarga Soekarno dan PDI. Menggunakan kunci ini, kita dapat menemukan perspektif baru terhadap Peristiwa 27 Juli 1996, yaitu ini adalah saat Benny Moerdani akhirnya mulai menjalankan rencana yang pernah diungkap dalam pertemuan di rumah Fahmi Idris beberapa tahun silam, yaitu menurunkan Presiden Soeharto melalui gerakan massa. Bisa dibilang Peristiwa 27 Juli 1996 juga adalah upaya Benny Moerdani untuk meradikalisasi rakyat sebab satu atau dua kali kerusuhan massa tidak akan bisa menjungkalkan Orde Baru yang sudah mengakar kuat di dalam masyarakat itu. Upaya Benny Moerdani meradikalisasi rakyat dapat dibaca di buku 1996: Tahun Kekerasan, Potret Pelanggaran HAM di Indonesia terbitan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

Dari titik tolak pemahaman ini, maka kita bisa memahami alasan pada kongres PDI di Medan, kubu CSIS seperti jeruk makan jeruk, karena saat itu Benny Moerdani dan anak didiknya: Agum Gumelar (bekas ajudan Ali Moertopo) dan AM. Hendropriyono ada di belakang Megawati Soekarnoputri, berhadapan dengan Sofyan Wanandi yang membiayai Dr. Soerjadi menjungkal Megawati Soekarnoputri di kongres Medan. Selain itu penyebar isu Megawati adalah ancaman bagi Presiden Soeharto adalah Aberson Silaholo, yang tidak lain adalah anak didik Ali Moertopo. Ternyata kubu CSIS bukan pecah, melainkan sedang melakukan perekayasaan kondisi agar membakar akar rumput PDI dan meradikalisasi rakyat dengan menciptakan narasi bahwa Megawati, anak Soekarno, diperlakukan tidak adil oleh diktator jahat Soeharto melalui pembusukan di kongres dan penyerbuan kantor PDIP oleh massa Dr. Soerjadi yang disponsori Orde Baru. Padahal sekarang terungkap bahwa Dr. Soerjadi dan Megawati Soekarnoputri sesungguhnya berada pada kubu yang sama.

Bahwa Sofyan Wanandi dan Megawati Soekarnoputri sudah berkoalisi setidaknya sejak tahun 1996 adalah satu-satunya yang dapat menjelaskan alasan Megawati Soekarnoputri yang terkenal sekali mendendam tidak pernah memaafkan malah menerima uluran tangan Sofyan Wanandi pada pilpres lalu dan memberikan posisi Ketua Tim Ekonomi Wapres Jusuf Kalla kepada Sofyan Wanandi. Sekali lagi, dari konteks inilah kita bisa memahami alasan Megawati Soekarnoputri justru memberikan hadiah dengan mendukung karir para jenderal yang terlibat penyerbuan kantor PDI seperti Sutiyoso dan SBY.

Dari Peristiwa 27 Juli 1996 Sampai Kerusuhan 13-14 Mei 1998

Dengan memahami bahwa kerusuhan-kerusuhan yang terjadi pada periode tahun 1996 s.d. 1998 bisa ditarik kepada rekayasa politik yang sedang dijalankan oleh Benny Moerdani dari CSIS bersama kelompok Megawati Soekarnoputri, maka sekarang kita sudah bisa melihat rentetan-rentetan kejadian pada awal tahun 1998 secara lebih jernih. Kita ambil contoh ledakan bom di kamar Blok V, No. 510, Rumah Susun Johar di Jalan Tanahabang III/27, Jakarta Pusat yang terjadi pada hari Minggu, 18 Januari 1998 misalnya. Ledakan tersebut terjadi karena ketiga penghuninya, belakangan diketahui sebagai aktivis Partai Rakyat Demokratik, sedang melakukan kesalahan pada saat merakit bom kecil.

Pemeriksaan lokasi kejadian oleh aparat keamanan menemukan 52 alat bukti antara lain berupa: laptop berisi e-mail; dokumen notulen rapat; beberapa paspor dan KTP atas nama Daniel Indrakusuma alias Daniel Tikuwalu, pendiri dan aktivis PRD; buku tabungan, disket-disket; detonator; amunisi; baterai; timer dan lain sebagainya. Adapun bunyi e-mail dalam laptop antara lain:

a. E-mail dari orang yang memakai nama "Dewa" berbunyi:

"Kawan-kawan yang baik! Dana yang diurus oleh Hendardi belum diterima [Dari Asia Watch], sehingga kita belum bisa bergerak. Kemarin saya dapat berita dari Alex [Widya Siregar] bahwa Sofjan Wanandi dari Prasetya Mulya akan membantu kita dalam dana, di samping itu bantuan moril dari luar negeri akan diurus oleh Jusuf Wanandi dari CSIS. Jadi kita tidak perlu tergantung kepada dana yang diurus oleh Hendardi untuk gerakan kita selanjutnya."

Pernyataan Dewa dibenarkan oleh anggota PRD bahwa anak buah Sofyan Wanandi pernah menawarkan bantuan dana sebesar US$ 15,000, yang sudah diambil sebagian sebelum bom meledak (Manuver Politik: Sofyan Wanandi & CSIS, Forum Komunikasi Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Indonesia, 1998, hal. 21).

b. E-mail lain menyebut nama Surya Paloh, bos harian Media Indonesia yang antara lain menerangkan:

"Peranan Surya Paloh pada surat kabar Media sangat membantu rencana kita dalam membakar massa ."

Sedangkan dalam dokumen notulen tertulis pembahasan yang dilakukan oleh “kelompok pro demokrasi” dengan penyandang dana mereka yang berlangsung di Leuwiliang, Bogor, 14 Januari 1998 yang dihadiri oleh sembilan belas (19) aktivis mewakili sembilan (9) organisasi terdiri dari kelompok senior dan kelompok junior yang merencanakan revolusi. Dari dokumen itu ditemukan bahwa anggota kelompok senior adalah sebagai berikut:

Pertama, CSIS bertugas membuat analisis dan menyusun konsep perencanaan aktivitas ke depan.

Kedua, kekuatan militer yang diwakili oleh Benny Moerdani.

Ketiga, kekuatan massa yang pro Megawati Soekarnoputri.

Keempat, kekuatan ekonomi yang dalam hal ini diwakili oleh Sofjan Wanandi dan Yusuf Wanandi.

Jusuf Wanandi, Sofyan Wanandi dan Surya Paloh telah diperiksa Bakortanasda Jaya sehubungan dengan penemuan dokumen di atas. Peristiwa tersebut ditambah fakta Sofyan Wanandi menolak mengulurkan tangan kepada negara yang terkena krisis moneter membuat kantor CSIS diterjang demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa yang menuntut pembubaran lembaga ini. Semua ini membuat klik CSIS menjadi panik dan terlihat dalam tegangnya rapat konsolidasi pada hari Senin, 16 Februari 1998 di Wisma Samedi, Klender, Jakarta Timur (dekat lokasi Kasebul) yang dihadiri oleh Harry Tjan, Cosmas Batubara, Jusuf Wanandi, Sofyan Wanandi, J. Kristiadi, Hadi Susastro, Clara Juwono, Danial Dhakidae dan Fikri Jufri (kedekatan Benny Moerdani dengan Fikri Jufri, salah satu pendiri Tempo dapat dibaca di buku tulisan Janet Steele, Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia).

Ketegangan terutama terjadi antara J. Kristiadi dengan Sofyan Wanandi sebab J. Kristiadi telah menerima dana Rp. 5miliar untuk untuk menggalang massa anti Soeharto tapi sekarang CSIS malah menjadi sasaran tembak karena ketahuan mendanai gerakan makar. Atas hal ini, Sofyan dkk menuduh Kristiadi tidak becus dan menggelapkan dana. Tuduhan ini dijawab oleh J. Kristiadi dengan membeberkan penggunaan dana kepada aktivis "kiri" di sekitar Jabotabek, misalnya Daniel Indrakusuma menerima Rp. 1,5miliar dll. Kristiadi juga menunjukan berkali-kali sukses menggalang massa anti Soeharto ke DPR, dan setelah CSIS didemo, Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta (FKMIJ) yang setahun terakhir digarap segera mengecam demo tersebut. Di akhir rapat disepakati J. Kristiadi akan menerima dana tambahan Rp. 5miliar (http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1998/02/21/0088.html ).

Demi menyelamatkan CSIS yang sudah di ujung tanduk membuat klik CSIS memutuskan percepatan rencana menjatuhkan Presiden Soeharto. Hasil dari rencana tersebut adalah Kerusuhan 13-14 Mei 1998 sebagaimana direncanakan oleh Benny Moerdani di rumah Fahmi Idris yang juga dihadiri oleh Sofyan Wanandi. Tapi bukankah Benny Moerdani adalah Katolik, dan Jusuf Wanandi maupun Sofyan Wanandi bukan saja Katolik tapi juga keturunan Cina? Menurut kesaksian George Junus Aditjondro, CSIS adalah ekstrim kanan yang tidak peduli ras atau agama, dan karena itu Tionghoa, Kristen, dan Katolik bisa dihantam bila menguntungkan mereka. Bukankah mereka yang menghancurkan Gereja Katolik Timor Timur? Bukankah guru mereka, Ali Moertopo yang anak kiai itu justru mendiskriditkan Islam melalui DI/TII dan GUPPI? Sifat kelompok CSIS ini sesuai dengan uraian David Jenkins, wartawan Australia dalam orbituari Benny Moerdani, "Charismatic, Sinister Soeharto Man":

"Hardened in battle and no stranger to violence, Moerdani believed that the ends justify the means...He once shocked members of an Indonesian parliamentary committee by saying, in effect, that if he had to sacrifice the lives of 2 million Indonesians to save the lives of 200 million Indonesians he would do so ."

http://www.smh.com.au/articles/2004/09/09/1094530768057.html

16 tahun kemudian musuh besar Benny Moerdani, yaitu Prabowo Soebianto, orang yang pernah mereka jadikan kambing hitam atas Kerusuhan 13-14 Mei 1998 malah tidak memiliki saingan untuk menjadi presiden Indonesia berikutnya. Tentu saja mereka kembali panik sebab bila Prabowo Soebianto memimpin negeri ini maka mereka kuatir bahwa semua kejahatan mereka di masa lalu akan terbongkar. Untuk itulah klik CSIS perlu menciptakan sosok lawan tanding Prabowo Soebianto dan sosok tersebut adalah Jokowi. Alasan CSIS menjadikan Prabowo Soebianto sebagai kambing hitam adalah karena Prabowo Soebianto mengagalkan usaha CSIS mendeislamisasi Indonesia. Usaha deislamisasi Indonesia yang dilakukan CSIS sendiri berangkat dari misi yang diberikan oleh agen CIA bernama Pater Beek. Misi tersebut dibuat setelah kelompok Pater Beek berhasil mengalahkan Partai Komunis Indonesia dan membuat analisa bahwa lawan Amerika Serikat di Indonesia selanjutnya adalah Islam, yang mana ABRI bisa dimanfaatkan untuk melawan Islam.

Proses penciptaan Jokowi dimulai pada tahun 2008 dengan kedatangan Agus Widjojo di Solo untuk menjajaki kerja sama dengan Jokowi. Setelah itu penggarapan Jokowi dilanjutkan oleh anak emas Benny Moerdani: Luhut Binsar Panjaitan memakai kedok PT Rakabu Sejahtera. Sedangkan kegiatan memoles citra Jokowi diserahkan kepada Goenawan Mohamad dan grup Tempo. Selanjutnya dukungan negara-negara imperialis diatur oleh Jacob Soetoyo dan Sofyan Wanandi bersama Marie Elka Pangestu. Marie Pangestu sendiri sudah sejak tahun 2013 melempar wacana duet Jokowi-JK dan menjanjikan gelontoran dana minimal Rp. 2trilyun (http://m.rmol.co/news.php?id=129021 ). Keterlibatan Surya Paloh dan Megawati Soekarnoputri dalam ledakan bom Tanah Tinggi menjawab keanehan PDIP, dan NasDem begitu saja mendukung kursi presiden kepada Jokowi dan wakil presiden kepada Jusuf Kalla (http://m.rimanews.com/read/20140413/147888/duet-jokowi-jusuf-kalla-didukung-sofyan-wanandi-apindocsiskompas-mau-diumumkan ).

Pertanyaan terakhir adalah bagaimana cara Benny Moerdani yang telah pensiun dari dinas kemiliteran dapat merekayasa kerusuhan semasif Kerusuhan 13-14 Mei 1998 dan melewati hadangan ABRI. Caranya sama dengan apa yang dilakukan pada Peristiwa 27 Juli 1996, yaitu memanfaatkan anak-anak didik yang masih memegang komando dan berdinas aktif. Bila pada Benny Moerdani menggunakan Sutiyoso, SBY, Agum Gumelar, dan AM. Hendropriyono pada Peristiwa 27 Juli 1996; maka untuk Kerusuhan 13-14 Mei 1998 digunakan kelompok Panglima ABRI Wiranto yang juga terdiri dari Kasad Soebagyo HS, Kasum ABRI Fachrul Razi dan lain sebagainya. Kedudukan Wiranto sebagai mata-mata Benny Moerdani di kabinet terakhir Presiden Soeharto adalah salah satu kepingan puzzle yang baru-baru ini terungkap berkat keterangan dari Jusuf Wanandi, mantan murid Pater Beek, dan salah seorang pendiri CSIS yang juga teman baik Benny Moerdani melalui memoarnya (Menyibak Tabir Orde Baru, hal. 365-366). Keterangan Jusuf Wanandi ini juga diamini oleh Salim Said (Dari Gestapu Ke Reformasi, hal. 320).

Kedudukan Wiranto sebagai mata-mata Benny Moerdani sangat menjelaskan alasan dirinya justru membawa semua pucuk pimpinan tertinggi ABRI, antara lain KSAL, KSAU, KSAD, Pangkostrad dan Danjen Kopassus ke Malang untuk mengikuti sebuah acara serah terima jabatan pada saat Jakarta sedang terbakar. Temuan ini juga mengungkap alasan Wiranto bersikeras melonggarkan keamanan di Jakarta padahal Zacky Anwar Makarim telah memberi peringatan akan datangnya kerusuhan massal setelah tertembaknya mahasiswa Trisakti. Dengan perspektif baru inilah maka kata-kata “t he show must go on ” dari Wiranto sebelum ke Malang mempunyai makna ganda. Di satu sisi dapat diartikan sebagai acara pelantikan harus tetap berjalan. Di sisi lain juga bisa diartikan bahwa “acara kerusuhan” harus tetap berlanjut. Tidak heran bila dalam memoarnya, Bersaksi di Tengah Badai, Wiranto seolah membenarkan terjadinya kerusuhan demi mendorong lahirnya reformasi sebab menurutnya, kerusuhan tersebut adalah penyebab utama tumbangnya Presiden Soeharto dan Orde Barunya. Berikut adalah kutipan pernyataan Jenderal (Purnawirawan) Wiranto pada halaman 58 dari memoarnya:

“Sedangkan pihak yang menginginkan Orde Baru tumbang, katakanlah Orde Reformasi- yang sebenarnya merupakan pihak yang diuntungkan atas peristiwa tersebut-tentu akan memandang peristiwa Mei 1998 sebagai “kepedihan y ang membawa berkah”. Ini logis bukan? Sebab mereka atau katakanlah sebagian dari mereka, termasuk yang menggagas, memulai dan melakukan demonstrasi sebagai cara menentang Orde Baru, langsung atau tidak langsung, telah mendorong terjadinya peristiwa Mei 1998 itu. Di satu sisi, mereka pasti merasa sedih karena banyaknya korban yang meninggal dengan sia-sia. Namun, di sisi lain, tak dapat dipungkiri adanya nuansa kebahagiaan dengan keberhasilannya menjebol tembok pertahanan rezim Orde Baru yang selama ini terkenal sangat kokoh.”

Dengan demikian alasan Kasum Letjend Fachrul Razi dan Pangab Jenderal Wiranto menahan pasukan keluar barak dan mengamankan para perusuh sampai akhirnya KSAL Laksamana (Purn) Arief Kusharyadi beriniasiatif memanggil marinir dari Surabaya ke Jakarta untuk memulihkan keamanan dapat dipahami. Tindakan tersebut diambil guna mempertahankan momentum kerusuhan di Jakarta agar dapat terus meluas dan menghancurkan stabilitas nasional sehingga dapat mempercepat kejatuhan Presiden Soeharto sebagaimana direncanakan oleh Benny Moerdani. Setelah Kerusuhan 13-14 Mei 1998 mereda, Jenderal Wiranto juga terus berupaya menghalangi setiap usaha untuk mengungkap fakta-fakta seputar kerusuhan tersebut termasuk mendiskriditkan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Hal ini diungkap oleh Dewi Anggraeni dalam buku Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan.

Posting Komentar

0 Komentar

Top Post Ad

Below Post Ad