Type Here to Get Search Results !

DALANG TRAGEDI 98 BUKAN PRABOWO

0

Sedikit orang yang tahu bahwa perkawinan Prabowo Subianto dengan Titiek Soeharto di TMII pada tanggal 8 Mei 1983, adalah berkat jasa Jenderal LB Moerdani (LBM). Prabowo, yang pada tahun 1982-1985 berpangkat Mayor adalah staf khusus Menhankam/Pangab LB Moerdani. Moerdani sudah lama mengamati Prabowo. Sejak lulus Akmil berpangkat Letda, Moerdani serius mencermati dan menilai perilaku, karakter dan kinerja Prabowo. Kesimpulannya: Luar Biasa.

Disamping memiliki kejeniusan (IQ 152), Prabowo sangat berani, patriotik, dan sangat cinta tanah air. Dalam cerita-cerita Jawa, disebut sebagai Senopati Wirang. Saat itu, Menhankam/Pangab LB Moerdani tahu persis bahwa Prabowo sudah dijodohkan dengan putri seorang jenderal yang juga seorang dokter, namun Moerdani diam-diam tidak setuju.

Pada tahun 1982-1985 itu, Moerdani  adalah tokoh yang sangat dipercayai oleh Presiden Soeharto. Saran-sarannya didengar dan sering diterima oleh Pak Harto. Besarnya Kepercayaan Soeharto kepada Moerdani adalah karena dia selalu menunjukkan loyalitasnya terhadap Soeharto. Jadi Moerdani  adalah pengaman bagi kekuasaan Soeharto dan Orba.

Moerdani  kebetulan adalah penganut Katolik, agama yang sama dengan Ibu Tien saat itu. Sedangkan Pak Harto adalah penganut Islam Abangan, lebih ke Kejawen (Bhirawa). LBM melobi Ibu Tien agar setuju mengambil Mayor Prabowo menjadi menantu, dan menjodohkannya dengan Titiek (Siti Hediati Harijadi) Soeharto. Bu Tien akhirnya setuju dan Pak Harto pun menyetujuinya. Mereka (Pak Harto dan Bu Tien) tidak tahu bahwa Prabowo sebenarnya sudah bertunangan. Akhirnya tunangan dibatalkan, dan Prabowo menikahi Titiek.

Semula Moerdani  berharap Prabowo akan menjadi mata dan telinganya di Cendana. Menjadi tangan kanan Moerdani dalam menggapai cita-citanya. Moerdani tidak menyangka Mayor Prabowo setelah jadi menantu Soeharto ternyata malah mengkhianati Moerdani, karena Prabowo lebih berpihak kepada Pak Harto dan keluarga Cendana.

Moerdani salah menganalisa dan menilai Prabowo sebagai penganut Islam Abangan, karena berayahkan sosialis sekuler, ibu dan saudara-saudaranya banyak yang Kristen atau non muslim. Moerdani merasa tidak berisiko ketika dia memaparkan rencananya selaku Menhankam/Pangab untuk menghancurkan Islam di Indonesia secara sistematis. Termasuk rencana Moerdani untuk merekayasa stigma negatif pada umat Islam Indonesia sebagai “ancaman” terhadap NKRI dan kekuasaan Soeharto.

Contohnya adalah ketika ABRI membantai ratusan umat Islam pada peristiwa Tanjung Priok. Moerdani melakukan pengkondisian agar Islam menjadi "musuh" Negara! Sehingga Islam sama dengan "musuh" Negara!

Moerdani memaparkan bagaimana caranya ABRI menciptakan “terorisme Islam”, “pembangkangan Islam”, atau “Islamophobia” dan seterusnya. Lalu menumpasnya secara keji. Moerdani menapaki karier di ABRI dengan cara menciptakan Islam sebagai “musuh” Negara dan kemudian ditumpasnya. Penghargaan dan pujian Soeharto didapatkannya karena prestasinya itu.

Ketika Prabowo tahu rencana besar dan rekayasa-rekayasa yang dilakukan Moerdani dalam rangka membenturkan Islam dengan Pak Harto, dia lalu membocorkannya. Prabowo melaporkan rencana keji Moerdani terhadap umat Islam Indonesia kepada Soeharto, mertuanya. Pak Harto kaget, marah dan menyesalkan.

Sebelumnya, Pak Harto sudah lama mendengar adanya rekayasa petinggi ABRI terhadap sejumlah peristiwa terkait “makar” kelompok Islam, tapi Pak Harto abaikan. Ia nilai itu hanyalah ekses rivalitas di internal ABRI. Namun kali ini informasi itu datang dari Prabowo, menantunya sendiri.

Prabowo menilai Moerdani punya agenda lebih besar dengan merekayasa benturan antara umat Islam dengan Soeharto karena Moerdani ingin menjadi Presiden. Cita-cita Moerdani menjadi Presiden setelah Pak Harto lengser sangat besar, namun hanya bisa terwujud jika Islam dan Pak Harto bermusuhan.

Ambisi Moerdani Jadi RI-1

Karena jika hubungan umat Islam dan Pak Harto baik dan normal, maka akan sulit bagi Moerdani yang beragama Katolik menjadi wapres pada tahun 1988. Pak Harto pasti lebih memperhatikan aspirasi umat Islam saat penetapan wapresnya pada 1988. Oleh sebab itu hubungan Soeharto dengan Islam harus dirusak. Selanjutnya, Moerdani berharap, setelah menjabat wapres pada 1988, kemungkinan besar Pak Harto akan mundur pada 1993. Saat itulah otomatis Moerdani akan menjadi RI-1.

Rencana keji Moerdani terhadap umat Islam Indonesia ini dinilai Prabowo sangat membahayakan posisi Pak Harto. Karena Islam adalah agama mayoritas di Republik Indonesia. Akan lebih kecil risikonya bagi Soeharto bila membina hubungan baik dengan umat Islam yang mayoritas daripada menjadikan Islam sebagai musuh negara.

Setelah mendapat laporan dari Prabowo mengenai rencana keji ABRI yang diotaki Menhankam/Pangab LB Moerdani, Soeharto tidak langsung bertindak. Dia mengamati secara diam-diam.

Pak Harto diam-diam mencegah rencana keji Moerdani dengan menempatkan dan mempromosikan sejumlah perwira tinggi ABRI yang kuat keislamannya. Selain mempromosikan perwira-perwira ABRI yang Islam, Pak Harto juga mempromosikan perwira-perwira dari kesatuan lain yang tidak berhubungan dengan jaringan Moerdani. Akibatnya Menhankam/Pangab Moerdani tidak lagi bisa bergerak bebas karena dikelilingi oleh jenderal-jenderal Islam (TNI Hijau). Dia akhirnya terjepit, tak bisa berkutik.

Puncak kekesalan Moerdani terjadi ketika Pak Harto mencopot Moerdani dari jabatan Panglima ABRI pada tahun 1988 dan menunjuk Jenderal Try Soetrisno menjadi penggantinya. Try Soetrisno tidak berasal dari Akmil tapi dari Atekad (Akademi Teknik Angkatan Darat). Bukan pula perwira intelijen, sehingga tidak ada sentuhan dari Moerdani sama sekali.

Moerdani yang marah dan kecewa terhadap Soeharto kemudian merencanakan balas dendam besar-besaran dengan rencana untuk menjatuhkan Soeharto. Sebelum itu, pada tahun 1984, Moerdani berhasil mengompori umat Islam agar marah kepada Soeharto dengan cara mendorong Soeharto agar menerapkan kewajiban Azas Tunggal kepada seluruh organisasi politik maupun ormas.

Seluruh ormas dan partai di Indonesia harus mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya azas. Tidak boleh ada azas Islam atau azas-azas yang lain. Semua harus berazas Pancasila. Tidak boleh ada yang lain!

Munculnya reaksi keras umat Islam terhadap penerapan Azas Tunggal Pancasila memang diharapkan sekali oleh Moerdani. Bahkan Moerdani berupaya mengkondisikan agar umat Islam mau berontak. Jaringan intelijen Moerdani disusupkan ke ormas-ormas Islam dan ditugaskan untuk mengipas-ngipasi tokoh-tokoh Islam agar memberontak terhadap Soeharto. Tujuannya agar Soeharto marah kepada umat Islam dan Islam dinilai sebagai ancaman terhadap Negara dan Soeharto, dengan demikian ABRI lalu diperintahkan untuk membantai “musuh” Negara tersebut.

Rencana Benny Moerdani itu kandas, bahkan gagal total, karena ormas-ormas Islam juga didekati orang-orang Soeharto dan diberi pengertian perihal kondisi sebenarnya. Moerdani kemudian tahu bahwa penyebab kegagalan rencana besarnya menstigmatisasi Islam sebagai “musuh” Negara dikarenakan laporan Prabowo.

Prabowo sempat “dibuang” oleh Moerdani dengan memutasikannya menjadi Kasdim (Kepala Staf Kodim), namun beberapa waktu kemudian oleh Kasad Jenderal Rudini, Prabowo akhirnya dipulihkan. Sejak itu, dalam otak Moerdani hanya ada 2 musuh besar yang harus dihancurkan yakni Prabowo Subianto dan Soeharto.

Moerdani Menyusun Rencana Strategis

Karena puluhan tahun menjadi “dewa” di kalangan ABRI dan di lingkungan intelijen, antek-antek Moerdani masih banyak tersebar. Dua orang yang menonjol adalah Luhut Panjaitan dan AM Hendropriyono. Meski LB Moerdani sudah tidak jadi Panglima ABRI dan Menhankam, namun dia masih bisa memerintahkan Hendropriyono untuk mem-back up PDI Megawati atau yang sekarang populer sebagai PDI Perjuangan alias PDI-P.

Saat itu Megawati adalah simbol perlawanan terhadap Presiden Soeharto, khususnya melalui PDI. Kongres PDI terpecah menghasilkan PDI kembar. Keberadaan PDI kembar, yang satu diketuai Soerjadi dan satu lagi dipimpin Megawati, bisa terjadi karena ada dukungan jenderal-jenderal yang pro-Moerdani.

Keberhasilan Prabowo meyakinkan Pak Harto dan Ibu Tien terhadap bahaya besar yang sedang direncanakan Moerdani, menyebabkan Pak Harto dapat menerima dan mempercayai Prabowo sepenuhnya, termasuk saran Prabowo agar Pak Harto membina hubungan lebih mesra lagi dengan umat Islam.

Penerapan Azas Tunggal Pancasila yang menimbulkan reaksi keras umat Islam, akhirnya tidak meletus menjadi bencana nasional karena perubahan sikap Pak Harto ini. Pak Harto mulai mendekati Islam. Akhirnya Ibu Tien pun memeluk agama Islam dan menjadi mualaf, disusul kemudian dengan Pak Harto sekeluarga menunaikan Ibadah Haji di Mekah. Pak Harto akhirnya berhasil membangun hubungan yang harmonis dengan umat Islam. Suatu hubungan baik yang belum pernah terjalin selama 24 tahun Soeharto berkuasa.

Tahun 1990 merupakan tahun kemerdekaan umat Islam Indonesia setelah “dijajah” dan “ditindas” selama 24 tahun oleh Orde Baru, Soeharto. Puncaknya, pada tanggal 7 Desember 1990, organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) didirikan di Universitas Brawijaya, Malang. Dan dari hasil Pemilu tahun 1993, menteri-menteri kabinet dan petinggi-petinggi ABRI mulai dijabat para tokoh dan perwira Muslim.

Namun Benny Moerdani dan kelompoknya masih terus mencari jalan bagaimana menghancurkan Soeharto dan Prabowo. Akhirnya ditemukan cara, yakni penculikan! Maka terjadilah penculikan dan pembunuhan sejumlah warga pada tahun 1997 menjelang Pemilu dan kemudian diikuti dengan penculikan dan pembunuhan setelah Sidang Umum MPR 1998.

Saat terjadi penculikan dan pembunuhan menjelang Pemilu 1997, sama sekali belum ada tuduhan kepada Kopassus sebagai terduga pelakunya. Namun ketika Tim Mawar melakukan penculikan aktivis pada tanggal 2-4 Februari 1998 dan 12-13 Maret 1998 terjadi kebocoran operasi.

Kebocoran informasi mengenai operasi Tim Mawar dalam rangka pengamanan Sidang Umum MPR terjadi karena ada 1 target, yakni Andi Arief, belum bisa diringkus. Andi Arief sempat kabur, dicari kemana-mana, akhirnya ditemukan di persembunyiannya di Lampung, Pulau Sumatera. Lalu dibawa ke Jakarta lewat jalur darat via Bakauheni.

Saat Tim Mawar menaiki kapal feri di Bakauheni, petugas polisi menghentikan Tim Mawar yang membawa Andi Arief dalam keadaan mata tertutup kain. Meski Tim Mawar kemudian diizinkan masuk feri setelah menunjukkan kartu pengenal Kopassus, kejadian ini tetap dilaporkan polisi ke Den Pom Lampung.

Komandan Den Pom Lampung meneruskan info ini ke Dan Puspom TNI di Jakarta. Saat itulah info bocor, lalu ditunggangilah kasus ini oleh oknum-oknum TNI binaan Moerdani. Peristiwa penangkapan Andi Arief di Lampung yang kemudian dibawa ke Jakarta pada tgl 28 Maret 1998 ini akhirnya ditunggangi dengan terjadinya kasus penculikan lain.

Penculikan lain atau susulan terjadi pada tanggal 30 Maret 1998 dengan korban Petrus Bima Anugrah, yang dilakukan oleh tim lain yang bukan Tim Mawar. Sebelumnya tim lain juga sudah menunggangi penculikan Herman Hendrawan pada tanggal 12 Maret 1998. Para korban ini hilang atau mati dibunuh.

Korban penculikan dari tim lain semuanya mati dibunuh, mayoritas non-Muslim, agar menimbulkan kesan bahwa penculikan dan pembunuhan itu dilakukan oleh Kopassus pimpinan Prabowo, jenderal pembela umat Islam Indonesia.

Fitnah terhadap Prabowo dan Kopassus melalui penculikan dan pembunuhan warga dan aktifis adalah untuk tujuan akhir melemahkan Soeharto. Kenapa? Karena untuk menghancurkan Soeharto harus dihancurkan terlebih dahulu penopang utama kekuasaan Soeharto yakni TNI. Dan kekuatan inti TNI berada di Kopassus sebagai kesatuan elit yang paling dibanggakan oleh TNI.

Moerdani CS Hancurkan Soeharto Dengan Cara Hancurkan TNI

Pemilihan target korban yang umumnya non-Muslim atau Katolik dimaksudkan untuk “menghilangkan jejak pelaku” sekaligus memancing perhatian Dunia. Seolah-olah di Indonesia sedang berkuasa rezim Soeharto yang anti Katolik dan anti Kristen. Media-media yang dimiliki umat Katolik dan Kristen pun bersuara sangat keras.

Akibatnya, Prabowo, Kopassus, TNI, dan Soeharto babak belur dihajar dan difitnah oleh Moerdani cs melalui penunggangan operasi Tim Mawar ini. Namun Pak Harto masih tetap bertahan. Sampai akhirnya terjadi peristiwa kerusuhan Mei 1998, yang diawali dengan penembakan terhadap Mahasiswa Trisakti. Peristiwa Trisakti ini, jelas ditunggangi oleh kelompok Moerdani dengan memfitnah Polres Jakarta Barat, Brimob dan Kopassus sebagai pelakunya.

Sementara itu, krisis Moneter yang sedang terjadi saat itu, diperburuk dengan perampokan fasilitas dana BLBI oleh para bankir China melalui rekayasa kredit dan tagihan pihak ketiga yang macet dll. Sampai hari ini, Negara kita masih terbebani utang BLBI sebesar lebih dari Rp 600 triliun, dan baru akan lunas dibayar melalui APBN hingga tahun 2032 yang akan datang.

Krisis moneter, rekayasa opini, fitnah, dan kerusuhan Mei 1998 menjadi penyebab utama kejatuhan Soeharto pada tanggal 20 Mei 1998. Pada saat terjadinya kerusuhan Mei 1998, kembali TNI, Kopassus dan Prabowo dijadikan kambing hitam oleh kelompok Moerdani yang berkolaborasi dengan konspirasi global (KG).

Situasi kacau dan tak terkendali tersebut dimanfaatkan para perusuh yang patut diduga merupakan kesatuan dari loyalis Moerdani untuk membakar kota dan mengeruhkan situasi. Kehadiran sekelompok orang tidak dikenal yang membuat rusuh dan terkordinir inilah yang dibaca Prabowo sebagai faktor dominan yang membahayakan negara.

Paska kerusuhan, dikembangkan opini sampai ke seluruh dunia, seolah-olah telah terjadi pemerkosaan terhadap wanita-wanita China. Tuduhan itu tidak terbukti sama sekali. Secara teori pun mustahil ada orang yang sempat dan masih berhasrat melakukan pemerkosaan di tengah-tengah kerusuhan. Bahkan katanya dalam melampiaskan nafsu bejat itu mereka sambil meneriakkan takbir. Sungguh fitnah keji yang tak masuk akal!

Tuduhan itu memang ditargetkan untuk mengebiri TNI, menjatuhkan Soeharto dan menghancurkan Prabowo. Fitnah itu sukses besar. Soeharto pun termakan fitnah tersebut. Laporan beberapa jenderal yang langsung kepada Pak Harto menghasilkan pengusiran Prabowo oleh keluarga Cendana karena dianggap sebagai pengkhianat. Prabowo tidak diberi kesempatan menjelaskan fakta sebenarnya kepada Soeharto. Operasi intelijen, penyesatan fakta dan informasi Moerdani cs, terbukti sukses. Operasi itu sangat rapi, cermat dan dibantu oleh media-media kolaborator Moerdani seperti harian Kompas Grup dll. Prabowo dicap pengkhianat Soeharto.

Peran KG (konspirasi global) sangat dominan. Sejak Pak Harto dan Ibu Tien menjadi mualaf dan mesra dengan umat Islam, Soeharto tidak lagi jadi “hadiah terbesar” bagi Amerika Serikat. Kebangkitan Islam Indonesia di era 1990-an dinilai menjadi ancaman serius oleh AS, Barat umumnya, Australia dan juga Singapura.

Sejalan dengan teori pasca perang dingin, tulisan Samuel P. Huntington dalam “The Clash of Civilization” (benturan peradaban) terus-menerus dikembangkan oleh negara-negara Barat terutama AS. Melalui opini di segala lini, Islam dikembangkan sebagai musuh baru bagi dunia Barat pasca kejatuhan Komunis Uni Soviet dan Eropa Timur. Islam di negeri ini juga dinilai sebagai bagian dari ancaman internasional itu.

Upaya penjatuhan Soeharto yang sedang mendorong kebangkitan kembali Islam di Indonesia setelah 24 tahun “dijajah” bangsa sendiri, telah dijadikan agenda utama oleh KG. Penjatuhan Soeharto itu sekaligus digunakan pula untuk sarana melakukan imperialisme baru atas Indonesia melalui LOI antara IMF dan RI yang telah terbukti menghancurkan kedaulatan NKRI.

Plus dengan menerapkan demokrasi liberal yang sejatinya tidak sesuai dengan demokrasi Pancasila, menyebabkan para kapitalis dengan amat mudah menjadi penguasa-penguasa baru Indonesia. Dan senjatanya hanya satu, yakni money (uang). Inilah cikal-bakal meruyaknya money politics di negeri ini.

Era 1998-2004, Indonesia Sedikit orang yang tahu bahwa perkawinan Prabowo Subianto dengan Titiek Soeharto di TMII pada tanggal 8 Mei 1983, adalah berkat jasa Jenderal LB Moerdani (LBM). Prabowo, yang pada tahun 1982-1985 berpangkat Mayor adalah staf khusus Menhankam/Pangab LB Moerdani. Moerdani sudah lama mengamati Prabowo. Sejak lulus Akmil berpangkat Letda, Moerdani serius mencermati dan menilai perilaku, karakter dan kinerja Prabowo. Kesimpulannya: Luar Biasa.

Disamping memiliki kejeniusan (IQ 152), Prabowo sangat berani, patriotik, dan sangat cinta tanah air. Dalam cerita-cerita Jawa, disebut sebagai Senopati Wirang. Saat itu, Menhankam/Pangab LB Moerdani tahu persis bahwa Prabowo sudah dijodohkan dengan putri seorang jenderal yang juga seorang dokter, namun Moerdani diam-diam tidak setuju.

Pada tahun 1982-1985 itu, Moerdani  adalah tokoh yang sangat dipercayai oleh Presiden Soeharto. Saran-sarannya didengar dan sering diterima oleh Pak Harto. Besarnya Kepercayaan Soeharto kepada Moerdani adalah karena dia selalu menunjukkan loyalitasnya terhadap Soeharto. Jadi Moerdani  adalah pengaman bagi kekuasaan Soeharto dan Orba.

Moerdani  kebetulan adalah penganut Katolik, agama yang sama dengan Ibu Tien saat itu. Sedangkan Pak Harto adalah penganut Islam Abangan, lebih ke Kejawen (Bhirawa). LBM melobi Ibu Tien agar setuju mengambil Mayor Prabowo menjadi menantu, dan menjodohkannya dengan Titiek (Siti Hediati Harijadi) Soeharto. Bu Tien akhirnya setuju dan Pak Harto pun menyetujuinya. Mereka (Pak Harto dan Bu Tien) tidak tahu bahwa Prabowo sebenarnya sudah bertunangan. Akhirnya tunangan dibatalkan, dan Prabowo menikahi Titiek.

Semula Moerdani  berharap Prabowo akan menjadi mata dan telinganya di Cendana. Menjadi tangan kanan Moerdani dalam menggapai cita-citanya. Moerdani tidak menyangka Mayor Prabowo setelah jadi menantu Soeharto ternyata malah mengkhianati Moerdani, karena Prabowo lebih berpihak kepada Pak Harto dan keluarga Cendana.

Moerdani salah menganalisa dan menilai Prabowo sebagai penganut Islam Abangan, karena berayahkan sosialis sekuler, ibu dan saudara-saudaranya banyak yang Kristen atau non muslim. Moerdani merasa tidak berisiko ketika dia memaparkan rencananya selaku Menhankam/Pangab untuk menghancurkan Islam di Indonesia secara sistematis. Termasuk rencana Moerdani untuk merekayasa stigma negatif pada umat Islam Indonesia sebagai “ancaman” terhadap NKRI dan kekuasaan Soeharto.

Contohnya adalah ketika ABRI membantai ratusan umat Islam pada peristiwa Tanjung Priok. Moerdani melakukan pengkondisian agar Islam menjadi "musuh" Negara! Sehingga Islam sama dengan "musuh" Negara!

Moerdani memaparkan bagaimana caranya ABRI menciptakan “terorisme Islam”, “pembangkangan Islam”, atau “Islamophobia” dan seterusnya. Lalu menumpasnya secara keji. Moerdani menapaki karier di ABRI dengan cara menciptakan Islam sebagai “musuh” Negara dan kemudian ditumpasnya. Penghargaan dan pujian Soeharto didapatkannya karena prestasinya itu.

Ketika Prabowo tahu rencana besar dan rekayasa-rekayasa yang dilakukan Moerdani dalam rangka membenturkan Islam dengan Pak Harto, dia lalu membocorkannya. Prabowo melaporkan rencana keji Moerdani terhadap umat Islam Indonesia kepada Soeharto, mertuanya. Pak Harto kaget, marah dan menyesalkan.

Sebelumnya, Pak Harto sudah lama mendengar adanya rekayasa petinggi ABRI terhadap sejumlah peristiwa terkait “makar” kelompok Islam, tapi Pak Harto abaikan. Ia nilai itu hanyalah ekses rivalitas di internal ABRI. Namun kali ini informasi itu datang dari Prabowo, menantunya sendiri.

Prabowo menilai Moerdani punya agenda lebih besar dengan merekayasa benturan antara umat Islam dengan Soeharto karena Moerdani ingin menjadi Presiden. Cita-cita Moerdani menjadi Presiden setelah Pak Harto lengser sangat besar, namun hanya bisa terwujud jika Islam dan Pak Harto bermusuhan.

Ambisi Moerdani Jadi RI-1

Karena jika hubungan umat Islam dan Pak Harto baik dan normal, maka akan sulit bagi Moerdani yang beragama Katolik menjadi wapres pada tahun 1988. Pak Harto pasti lebih memperhatikan aspirasi umat Islam saat penetapan wapresnya pada 1988. Oleh sebab itu hubungan Soeharto dengan Islam harus dirusak. Selanjutnya, Moerdani berharap, setelah menjabat wapres pada 1988, kemungkinan besar Pak Harto akan mundur pada 1993. Saat itulah otomatis Moerdani akan menjadi RI-1.

Rencana keji Moerdani terhadap umat Islam Indonesia ini dinilai Prabowo sangat membahayakan posisi Pak Harto. Karena Islam adalah agama mayoritas di Republik Indonesia. Akan lebih kecil risikonya bagi Soeharto bila membina hubungan baik dengan umat Islam yang mayoritas daripada menjadikan Islam sebagai musuh negara.

Setelah mendapat laporan dari Prabowo mengenai rencana keji ABRI yang diotaki Menhankam/Pangab LB Moerdani, Soeharto tidak langsung bertindak. Dia mengamati secara diam-diam.

Pak Harto diam-diam mencegah rencana keji Moerdani dengan menempatkan dan mempromosikan sejumlah perwira tinggi ABRI yang kuat keislamannya. Selain mempromosikan perwira-perwira ABRI yang Islam, Pak Harto juga mempromosikan perwira-perwira dari kesatuan lain yang tidak berhubungan dengan jaringan Moerdani. Akibatnya Menhankam/Pangab Moerdani tidak lagi bisa bergerak bebas karena dikelilingi oleh jenderal-jenderal Islam (TNI Hijau). Dia akhirnya terjepit, tak bisa berkutik.

Puncak kekesalan Moerdani terjadi ketika Pak Harto mencopot Moerdani dari jabatan Panglima ABRI pada tahun 1988 dan menunjuk Jenderal Try Soetrisno menjadi penggantinya. Try Soetrisno tidak berasal dari Akmil tapi dari Atekad (Akademi Teknik Angkatan Darat). Bukan pula perwira intelijen, sehingga tidak ada sentuhan dari Moerdani sama sekali.

Moerdani yang marah dan kecewa terhadap Soeharto kemudian merencanakan balas dendam besar-besaran dengan rencana untuk menjatuhkan Soeharto. Sebelum itu, pada tahun 1984, Moerdani berhasil mengompori umat Islam agar marah kepada Soeharto dengan cara mendorong Soeharto agar menerapkan kewajiban Azas Tunggal kepada seluruh organisasi politik maupun ormas.

Seluruh ormas dan partai di Indonesia harus mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya azas. Tidak boleh ada azas Islam atau azas-azas yang lain. Semua harus berazas Pancasila. Tidak boleh ada yang lain!

Munculnya reaksi keras umat Islam terhadap penerapan Azas Tunggal Pancasila memang diharapkan sekali oleh Moerdani. Bahkan Moerdani berupaya mengkondisikan agar umat Islam mau berontak. Jaringan intelijen Moerdani disusupkan ke ormas-ormas Islam dan ditugaskan untuk mengipas-ngipasi tokoh-tokoh Islam agar memberontak terhadap Soeharto. Tujuannya agar Soeharto marah kepada umat Islam dan Islam dinilai sebagai ancaman terhadap Negara dan Soeharto, dengan demikian ABRI lalu diperintahkan untuk membantai “musuh” Negara tersebut.

Rencana Benny Moerdani itu kandas, bahkan gagal total, karena ormas-ormas Islam juga didekati orang-orang Soeharto dan diberi pengertian perihal kondisi sebenarnya. Moerdani kemudian tahu bahwa penyebab kegagalan rencana besarnya menstigmatisasi Islam sebagai “musuh” Negara dikarenakan laporan Prabowo.

Prabowo sempat “dibuang” oleh Moerdani dengan memutasikannya menjadi Kasdim (Kepala Staf Kodim), namun beberapa waktu kemudian oleh Kasad Jenderal Rudini, Prabowo akhirnya dipulihkan. Sejak itu, dalam otak Moerdani hanya ada 2 musuh besar yang harus dihancurkan yakni Prabowo Subianto dan Soeharto.

Moerdani Menyusun Rencana Strategis

Karena puluhan tahun menjadi “dewa” di kalangan ABRI dan di lingkungan intelijen, antek-antek Moerdani masih banyak tersebar. Dua orang yang menonjol adalah Luhut Panjaitan dan AM Hendropriyono. Meski LB Moerdani sudah tidak jadi Panglima ABRI dan Menhankam, namun dia masih bisa memerintahkan Hendropriyono untuk mem-back up PDI Megawati atau yang sekarang populer sebagai PDI Perjuangan alias PDI-P.

Saat itu Megawati adalah simbol perlawanan terhadap Presiden Soeharto, khususnya melalui PDI. Kongres PDI terpecah menghasilkan PDI kembar. Keberadaan PDI kembar, yang satu diketuai Soerjadi dan satu lagi dipimpin Megawati, bisa terjadi karena ada dukungan jenderal-jenderal yang pro-Moerdani.

Keberhasilan Prabowo meyakinkan Pak Harto dan Ibu Tien terhadap bahaya besar yang sedang direncanakan Moerdani, menyebabkan Pak Harto dapat menerima dan mempercayai Prabowo sepenuhnya, termasuk saran Prabowo agar Pak Harto membina hubungan lebih mesra lagi dengan umat Islam.

Penerapan Azas Tunggal Pancasila yang menimbulkan reaksi keras umat Islam, akhirnya tidak meletus menjadi bencana nasional karena perubahan sikap Pak Harto ini. Pak Harto mulai mendekati Islam. Akhirnya Ibu Tien pun memeluk agama Islam dan menjadi mualaf, disusul kemudian dengan Pak Harto sekeluarga menunaikan Ibadah Haji di Mekah. Pak Harto akhirnya berhasil membangun hubungan yang harmonis dengan umat Islam. Suatu hubungan baik yang belum pernah terjalin selama 24 tahun Soeharto berkuasa.

Tahun 1990 merupakan tahun kemerdekaan umat Islam Indonesia setelah “dijajah” dan “ditindas” selama 24 tahun oleh Orde Baru, Soeharto. Puncaknya, pada tanggal 7 Desember 1990, organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) didirikan di Universitas Brawijaya, Malang. Dan dari hasil Pemilu tahun 1993, menteri-menteri kabinet dan petinggi-petinggi ABRI mulai dijabat para tokoh dan perwira Muslim.

Namun Benny Moerdani dan kelompoknya masih terus mencari jalan bagaimana menghancurkan Soeharto dan Prabowo. Akhirnya ditemukan cara, yakni penculikan! Maka terjadilah penculikan dan pembunuhan sejumlah warga pada tahun 1997 menjelang Pemilu dan kemudian diikuti dengan penculikan dan pembunuhan setelah Sidang Umum MPR 1998.

Saat terjadi penculikan dan pembunuhan menjelang Pemilu 1997, sama sekali belum ada tuduhan kepada Kopassus sebagai terduga pelakunya. Namun ketika Tim Mawar melakukan penculikan aktivis pada tanggal 2-4 Februari 1998 dan 12-13 Maret 1998 terjadi kebocoran operasi.

Kebocoran informasi mengenai operasi Tim Mawar dalam rangka pengamanan Sidang Umum MPR terjadi karena ada 1 target, yakni Andi Arief, belum bisa diringkus. Andi Arief sempat kabur, dicari kemana-mana, akhirnya ditemukan di persembunyiannya di Lampung, Pulau Sumatera. Lalu dibawa ke Jakarta lewat jalur darat via Bakauheni.

Saat Tim Mawar menaiki kapal feri di Bakauheni, petugas polisi menghentikan Tim Mawar yang membawa Andi Arief dalam keadaan mata tertutup kain. Meski Tim Mawar kemudian diizinkan masuk feri setelah menunjukkan kartu pengenal Kopassus, kejadian ini tetap dilaporkan polisi ke Den Pom Lampung.

Komandan Den Pom Lampung meneruskan info ini ke Dan Puspom TNI di Jakarta. Saat itulah info bocor, lalu ditunggangilah kasus ini oleh oknum-oknum TNI binaan Moerdani. Peristiwa penangkapan Andi Arief di Lampung yang kemudian dibawa ke Jakarta pada tgl 28 Maret 1998 ini akhirnya ditunggangi dengan terjadinya kasus penculikan lain.

Penculikan lain atau susulan terjadi pada tanggal 30 Maret 1998 dengan korban Petrus Bima Anugrah, yang dilakukan oleh tim lain yang bukan Tim Mawar. Sebelumnya tim lain juga sudah menunggangi penculikan Herman Hendrawan pada tanggal 12 Maret 1998. Para korban ini hilang atau mati dibunuh.

Korban penculikan dari tim lain semuanya mati dibunuh, mayoritas non-Muslim, agar menimbulkan kesan bahwa penculikan dan pembunuhan itu dilakukan oleh Kopassus pimpinan Prabowo, jenderal pembela umat Islam Indonesia.

Fitnah terhadap Prabowo dan Kopassus melalui penculikan dan pembunuhan warga dan aktifis adalah untuk tujuan akhir melemahkan Soeharto. Kenapa? Karena untuk menghancurkan Soeharto harus dihancurkan terlebih dahulu penopang utama kekuasaan Soeharto yakni TNI. Dan kekuatan inti TNI berada di Kopassus sebagai kesatuan elit yang paling dibanggakan oleh TNI.

Moerdani CS Hancurkan Soeharto Dengan Cara Hancurkan TNI

Pemilihan target korban yang umumnya non-Muslim atau Katolik dimaksudkan untuk “menghilangkan jejak pelaku” sekaligus memancing perhatian Dunia. Seolah-olah di Indonesia sedang berkuasa rezim Soeharto yang anti Katolik dan anti Kristen. Media-media yang dimiliki umat Katolik dan Kristen pun bersuara sangat keras.

Akibatnya, Prabowo, Kopassus, TNI, dan Soeharto babak belur dihajar dan difitnah oleh Moerdani cs melalui penunggangan operasi Tim Mawar ini. Namun Pak Harto masih tetap bertahan. Sampai akhirnya terjadi peristiwa kerusuhan Mei 1998, yang diawali dengan penembakan terhadap Mahasiswa Trisakti. Peristiwa Trisakti ini, jelas ditunggangi oleh kelompok Moerdani dengan memfitnah Polres Jakarta Barat, Brimob dan Kopassus sebagai pelakunya.

Sementara itu, krisis Moneter yang sedang terjadi saat itu, diperburuk dengan perampokan fasilitas dana BLBI oleh para bankir China melalui rekayasa kredit dan tagihan pihak ketiga yang macet dll. Sampai hari ini, Negara kita masih terbebani utang BLBI sebesar lebih dari Rp 600 triliun, dan baru akan lunas dibayar melalui APBN hingga tahun 2032 yang akan datang.

Krisis moneter, rekayasa opini, fitnah, dan kerusuhan Mei 1998 menjadi penyebab utama kejatuhan Soeharto pada tanggal 20 Mei 1998. Pada saat terjadinya kerusuhan Mei 1998, kembali TNI, Kopassus dan Prabowo dijadikan kambing hitam oleh kelompok Moerdani yang berkolaborasi dengan konspirasi global (KG).

Situasi kacau dan tak terkendali tersebut dimanfaatkan para perusuh yang patut diduga merupakan kesatuan dari loyalis Moerdani untuk membakar kota dan mengeruhkan situasi. Kehadiran sekelompok orang tidak dikenal yang membuat rusuh dan terkordinir inilah yang dibaca Prabowo sebagai faktor dominan yang membahayakan negara.

Paska kerusuhan, dikembangkan opini sampai ke seluruh dunia, seolah-olah telah terjadi pemerkosaan terhadap wanita-wanita China. Tuduhan itu tidak terbukti sama sekali. Secara teori pun mustahil ada orang yang sempat dan masih berhasrat melakukan pemerkosaan di tengah-tengah kerusuhan. Bahkan katanya dalam melampiaskan nafsu bejat itu mereka sambil meneriakkan takbir. Sungguh fitnah keji yang tak masuk akal!

Tuduhan itu memang ditargetkan untuk mengebiri TNI, menjatuhkan Soeharto dan menghancurkan Prabowo. Fitnah itu sukses besar. Soeharto pun termakan fitnah tersebut. Laporan beberapa jenderal yang langsung kepada Pak Harto menghasilkan pengusiran Prabowo oleh keluarga Cendana karena dianggap sebagai pengkhianat. Prabowo tidak diberi kesempatan menjelaskan fakta sebenarnya kepada Soeharto. Operasi intelijen, penyesatan fakta dan informasi Moerdani cs, terbukti sukses. Operasi itu sangat rapi, cermat dan dibantu oleh media-media kolaborator Moerdani seperti harian Kompas Grup dll. Prabowo dicap pengkhianat Soeharto.

Peran KG (konspirasi global) sangat dominan. Sejak Pak Harto dan Ibu Tien menjadi mualaf dan mesra dengan umat Islam, Soeharto tidak lagi jadi “hadiah terbesar” bagi Amerika Serikat. Kebangkitan Islam Indonesia di era 1990-an dinilai menjadi ancaman serius oleh AS, Barat umumnya, Australia dan juga Singapura.

Sejalan dengan teori pasca perang dingin, tulisan Samuel P. Huntington dalam “The Clash of Civilization” (benturan peradaban) terus-menerus dikembangkan oleh negara-negara Barat terutama AS. Melalui opini di segala lini, Islam dikembangkan sebagai musuh baru bagi dunia Barat pasca kejatuhan Komunis Uni Soviet dan Eropa Timur. Islam di negeri ini juga dinilai sebagai bagian dari ancaman internasional itu.

Upaya penjatuhan Soeharto yang sedang mendorong kebangkitan kembali Islam di Indonesia setelah 24 tahun “dijajah” bangsa sendiri, telah dijadikan agenda utama oleh KG. Penjatuhan Soeharto itu sekaligus digunakan pula untuk sarana melakukan imperialisme baru atas Indonesia melalui LOI antara IMF dan RI yang telah terbukti menghancurkan kedaulatan NKRI.

Plus dengan menerapkan demokrasi liberal yang sejatinya tidak sesuai dengan demokrasi Pancasila, menyebabkan para kapitalis dengan amat mudah menjadi penguasa-penguasa baru Indonesia. Dan senjatanya hanya satu, yakni money (uang). Inilah cikal-bakal meruyaknya money politics di negeri ini.


Terungkapnya Misteri Kerusuhan Mei 1998

Upaya menggerakan massa untuk menjatuhkan Presiden Soeharto dimulai tanggal 8 Juni 1996, ketika Yopie Lasut selaku Ketua Yayasan Hidup Baru mengadakan pertemuan tertutup dengan 80 orang di Hotel Patra Jasa dengan tema “MENDORONG TERCIPTANYA PERLAWANAN RAKYAT TERHADAP REZIM ORDE BARU DI DAERAH-DAERAH” yang dihadiri antara lain oleh Sofyan Wanandi, Megawati Soekarnoputri, Benny Moerdani, para aktivis mahasiswa radikal, tokoh LSM dan mantan tapol.

Pertemuan tertutup ini diawali dengan rapat di rumah Fahmi Idris yang dihadiri oleh Cosmas Batubara, Abdul Ghafur, Firdaus Wajdi, Soerjadi, dan Sofyan Wanandi tokoh CSIS (Central for Strategic and International Studies, lembaga yang berpusat di Amerika Serikat). Rapat membahas rencana Benny Moerdani menggulingkan Presiden Soeharto melalui kerusuhan rasial anti Tionghoa dan Kristen (Salim Said, Dari Gestapu Ke Reformasi, Penerbit Mizan, hal. 316).

Tidak berapa lama, operasi Benny Moerdani untuk meradikalisasi rakyat dengan tujuan “mendorong” mereka bangkit melawan Presiden Soeharto dimulai pada tanggal 22 Juni 1996, Dr. Soerjadi, -orang yang pada tahun 1986 pernah diculik Benny Moerdani ke Denpasar- terpilih menjadi Ketua PDI periode 1986-1992 dan dipekerjakan di bank milik kelompok usaha Sofyan Wanandi yaitu Gemala Grup. Dr. Soerjadi terpilih menjadi Ketua Umum PDI menggeser Megawati Soekarnoputri, sosok yang diusung Benny Moerdani untuk menggantikan Presiden Soeharto.

Terpilihnya Megawati Soekarnoputri pada munas tahun 1993 adalah karena Direktur A Badan Intelijen ABRI waktu itu yaitu Agum Gumelar menggiring peserta munas ke Hotel Presiden sambil ditodong pistol dan mengatakan “Siapa tidak memilih Megawati akan berhadapan dengan saya.” Belakangan diketahui bahwa Agum Gumelar adalah salah satu anak didik yang setia kepada Benny Moerdani dan bersama Hendropriyono menerima perintah dari Benny Moerdani untuk seumur hidup menjaga Megawati Soekarnoputri.

Pada tanggal 27 Juli 1996 terjadi penyerbuan ke kantor PDI oleh massa Dr. Soerjadi menghantam massa PDI Pro Mega yang sedang berorasi di depan kantor PDI, dan Megawati telah mengetahui dari Benny Moerdani bahwa penyerbuan akan terjadi namun dia mendiamkan sehingga berakibat matinya ratusan pendukung Megawati dan menelan korban harta dan jiwa dari rakyat sekitar.

Akibat penyerbuan ini berbagai gedung sepanjang ruas jalan Salemba Raya seperti Gedung Pertanian, Showroom Auto 2000, Showroom Honda, Bank Mayapada, Dept. Pertanian, Mess KOWAD. Sepanjang Jl. Cikini Raya beberapa gedung perkantoran seperti Bank Harapan Sentosa dan tiga mobil sedan tidak luput dari amukan massa dll.

Pada hari Minggu, 18 Januari 1998 terjadi ledakan di kamar 510, Blok V, Rumah Susun Johar di Tanah Tinggi, Tanah Abang sesaat setelah jam berbuka puasa yang membuat ruangan seluas 4 x 4 meter tersebut hancur berantakan.

Langit-langit yang bercat putih porak-poranda, atap ambrol, dinding retak, salah satu sudut jebol dan di sana sini ada bercak darah. Menurut keterangan Mukhlis, Ketua RT 10 Tanah Tinggi bahwa Agus Priyono aktifis PRD (Partai Rakyat Demokrat) salah satu pelaku yang tertangkap saat melarikan diri, ditangkap dalam kondisi belepotan darah dan luka di bagian kepala dan tangannya, sementara dua lainnya berhasil kabur. Setelah melakukan pemeriksaan, polisi menemukan: 10 bom yang siap diledakkan, obeng, stang, kabel, botol berisi belerang, dokumen notulen rapat, paspor dan KTP atas nama Daniel Indrakusuma, disket, buku tabungan, detonator, amunisi, laptop berisi email dan lain sebagainya. Dari dokumen tersebut ditemukan fakta bahwa Hendardi, Sofyan Wanandi, Jusuf Wanandi, Surya Paloh, Benny Moerdani, Megawati terlibat dalam sebuah konspirasi jahat untuk melancarkan kerusuhan di Indonesia demi menggulingkan Presiden Soeharto.

Temuan tersebut ditanggapi Baskortanasda Jaya dengan memanggil Benny Moerdani (dibatalkan), Surya Paloh dan kakak beradik Wanandi dengan hasil:

1. Surya Paloh membantah terlibat dengan PRD namun tidak bisa mengelak ketika ditanya perihal pemecatan wartawati Media Indonesia yang menulis berita mengenai kasus bom rakitan di Tanah Tinggi tersebut.

2. Jusuf Wanandi dan Sofyan Wanandi membantah terlibat pendanaan PRD ketika menemui Bakorstanas tanggal 26 Januari 1998, namun keesokan harinya pada tanggal 27 Januari 1998 mereka mengadakan pertemuan mendadak di Simprug yang diduga rumah Jacob Soetoyo bersama Benny Moerdani, A. Pranowo, Zen Maulani dan seorang staf senior kementerian BJ Habibie dan kemudian tanggal 28 Januari 1998, Sofyan Wanandi terbang ke Australia. Sofyan Wanandi baru kembali pada bulan Februari 1998.

Bersamaan dengan temuan dokumen pengkhianatan CSIS dan Benny Moerdani tersebut, dan fakta bahwa Sofyan Wanandi menolak gerakan “Aku Cinta Rupiah” padahal negara sedang krisis membuat banyak rakyat Indonesia marah dan segera melakukan demo besar guna menuntut pembubaran CSIS namun Wiranto melakukan intervensi dengan melarang demonstrasi.

Mengapa Wiranto membantu CSIS? Karena sebagai anak buah Benny Moerdani dan bersama Try Soetrisno sempat digadang-gadang oleh CSIS untuk menjadi cawapres Presiden Soeharto karena CSIS tidak menyukai BJ Habibie dengan ICMI dan CIDESnya.

Kepanikan CSIS atas semua kejadian ini terlihat jelas dalam betapa tegangnya rapat konsolidasi pada hari Senin, 16 Februari 1998 di Wisma Samedi, Klender, Jakarta Timur dan dihadiri oleh Harry Tjan, Cosmas Batubara, Jusuf Wanandi, Sofyan Wanandi, J. Kristiadi, Hadi Susastro, Clara Juwono, Danial Dhakidae dan Fikri Jufri.

Ketegangan terutama terjadi antara J. Kristiadi dengan Sofyan Wanandi sebab Kristiadi yang menerima dana Rp. 5 miliar untuk menggalang massa anti Soeharto namun CSIS malah menjadi sasaran tembak karena dianggap mendanai gerakan makar. Akibatnya Sofyan dkk menuduh Kristiadi tidak becus dan menggelapkan dana.

Karena kondisi sudah mendesak bagi Benny Moerdani, kakak beradik Wanandi dan CSIS sehingga mereka memutuskan untuk mempercepat pelaksanaan kejatuhan Presiden Soeharto dengan memakai rencana yang pernah didiskusikan di rumah Fahmi Idris pada akhir tahun 1980an yaitu kerusuhan rasial. Adapun metode kerusuhan akan meniru Malari yang dilakukan oleh Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani dengan diperbantukan Sofyan Wanandi yang mendanai GUPPI, yaitu massa yang menunggangi demo mahasiswa UI demi menggulingkan Jenderal Soeharto.

Sekedar mengingatkan Malari yang terjadi pada tanggal 15-16 Januari 1976 adalah kerusuhan dengan menunggangi aksi anti investasi asing oleh mahasiswa UI atas hasutan Hariman Siregar, tokoh didikan Ali Moertopo. Kerusuhan mengakibatkan terbakarnya Glodok, Sudirman, Matraman, Cempaka Putih, Roxy, Jakarta-By-Pass, 11 tewas, 17 luka parah, 200 luka ringan, 807 mobil hancur atau terbakar, 187 motor hancur atau terbakar, 144 toko hancur dan 700 kios di Pasar Senen dibakar habis. Kerusuhan ini didanai Wanandi bersaudara, Ali Moertopo dan CSISnya.

Masalah yang harus dipecahkan untuk membuktikan bahwa CSIS adalah dalang Kerusuhan 13-14 Mei 1998 adalah:

1. Siapa yang membuat rencana dan mendanai (think);

2. Identitas massa perusuh (tank); dan

3. Siapa yang bisa menahan semua pasukan keamanan dan menghalangi perusuh?

Pembuat rencana adalah murid dari Ali Moertopo, dalang Malari, yaitu Benny Moerdani dan Jusuf Wanandi. Sedangkan dana berasal dari Sofyan Wanandi yang meneruskan peran Soedjono Hoemardani sebagai donatur semua operasi intelijen CSIS dan Ali Moertopo.

Benny Moerdani mengendalikan kerusuhan 13-14 Mei 1998 dari Hotel Ria Diani, Cibogo, Puncak, Bogor. Adapun SiaR media milik Goenawan Mohamad yang tidak lain sekutu Benny Moerdani bertugas membuat alibi bagi CSIS, antara lain dengan menyalahkan umat muslim sebagai dalang Kerusuhan 13-14 Mei 1998 dengan menulis bahwa terdapat pertemuan tujuh tokoh sipil dan militer pada awal Mei 1998 antara lain Anton Medan, Adi Sasono, Zainuddin MZ, di mana konon Adi Sasono menegaskan perlu kerusuhan anti-Cina untuk menghabiskan penguasaan jalur distribusi yang selama ini dikuasai penguasa keturunan Tionghoa.

Sampai sekarang massa perusuh tidak diketahui identitasnya namun dalam sejarah kerusuhan CSIS, penggunaan preman bukan hal baru. Dalam kasus Malari, CSIS membina dan mengerahkan GUPPI, tukang becak, dan tukang ojek untuk tujuan menunggangi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa.

Dalam kasus penyerbuan ke Timor Leste, CSIS dan Ali Moertopo mengirim orang untuk bekerja sama dengan orang lokal melawan Fretilin sehingga Timor Leste menjadi kisruh yang kemudian menjadi dalih bagi Benny Moerdani menyerbu Timor-Timur. Begitu juga dalam kasus Kudatuli, CSIS menggunakan preman dan buruh bongkar muat dari daerah Pasar Induk Kramat Jati, 200 orang yang terlatih bela diri dari Tangerang, dan lain sebagainya.

Bahkan setelah reformasi, terbukti Sofyan Wanandi mendalangi demonstrasi yang menamakan diri Front Pembela Amar Maruf Nahi Mungkar yang menuntut Kwik Kian Gie mundur karena memiliki saham di PT Dusit Thani yang bergerak dalam usaha panti pijat ketika pemerintah dan DPR berniat menuntaskan kredit macet milik kelompok usaha Sofyan Wanandi sebagaimana diungkap Aberson Marle Sihaloho dan Didik Supriyanto, keduanya anggota fraksi PDIP. Adapun kredit macet dimaksud adalah hutang PT Gemala Container milik Sofyan Wanandi kepada BNI sebesar Rp. 92 miliar yang dibayar melalui mekanisme cicilan sebesar Rp. 500 juta/bulan atau baru lunas 184 bulan kemudian, dan tanpa bunga.

Adalah fakta tidak terbantahkan bahwa tidak ada tentara selama kerusuhan tanggal 13 dan 14 Mei 1998, dan bilapun ada, mereka hanya menyaksikan para perusuh menjarah dan membakar padahal bila saja dari awal para tentara tersebut bertindak tegas maka dapat dipastikan akan meminimalisir korban materi dan jiwa. Pertanyaannya apakah hilangnya peran aparat pada kerusuhan Mei disengaja atau tidak?

Fakta lain yang tidak terbantahkan adalah Kepala BIA yaitu Zacky Anwar Makarim memberi pengakuan kepada TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) bahwa ABRI telah memperoleh informasi akan terjadi kerusuhan Mei. Namun ketika ditanya bila sudah tahu mengapa kerusuhan masih terjadi, Zacky menjawab tugas selanjutnya bukan tanggung jawab BIA.

Jadi siapa “user” BIA? Tentu saja Panglima ABRI Jenderal Wiranto yang berperilaku aneh sebab Jakarta rusuh pada tanggal 13 Mei 1998 dan pada tanggal 14 Mei 1998 Wiranto membawa KSAD, Danjen Kopassus, Pangkostrad, KSAU, KSAL ke Malang untuk mengikuti upacara serah terima jabatan sampai jam 1.30 di mana sekembalinya ke Jakarta, kota ini sudah terbakar hebat.

Keanehan Wiranto juga tampak ketika malam tanggal 12 Mei 1998 menolak usul jam malam dari Syamsul Djalal dan dalam rapat garnisun tanggal 13 Mei 1998 malam dengan agenda situasi terakhir ketika dia membenarkan keputusan Kasum Letjend Fahrul Razi menolak penambahan pasukan untuk Kodam Jaya dengan alasan sudah cukup.

Selain itu Wiranto menolak permintaan Prabowo untuk mendatangkan pasukan dari Karawang, Cilodong, Makasar dan Malang dengan cara tidak mau memberi bantuan pesawat Hercules sehingga Prabowo harus mencarter sendiri pesawat Garuda dan Mandala. Bukan itu saja, KSAL Arief Kusharyadi sampai harus berinisiatif mendatangkan marinir dari Surabaya karena tidak ada marinir di markas mereka di Cilandak KKO dan atas jasanya ini, Wiranto mencopot Arief Kusharyadi tidak lama setelah kerusuhan mereda.

Mengapa Wiranto membiarkan kerusuhan terjadi? Tentu saja karena dia adalah orangnya Benny Moerdani, dan setelah Soeharto lengser, Wiranto bekerja sama dengan Benny Moerdani antara lain dengan melakukan reposisi terhadap 100 perwira ABRI yang dipandang sebagai “ABRI Hijau” perwira yang pro Islam dan diganti dengan perwira-perwira yang dipandang sebagai “ABRI Merah Putih.”

Setelah Kerusuhan 13-14 Mei 1998, Wiranto bergerak menekan informasi mengenai terjadinya pemerkosaan massal terhadap wanita etnis Tionghoa termasuk marah karena pengumuman dari TGPF bahwa terjadi pemerkosaan selama kerusuhan.

Tidak berapa lama, Ita Marthadinata, relawan yang membantu TGPF, tewas dibunuh di kamarnya sendiri dengan luka mematikan di leher sedangkan sampai hari ini pelaku pembunuhnya yaitu Otong tidak diketahui dan dicurigai sebagai binaan intelijen. Kecurigaan semakin menguat sebab beberapa hari sebelum kejadian, Ita dan keluarganya membuat rencana akan memberikan kesaksian di Kongres Amerika mengenai temuan mereka terkait korban Kerusuhan 13-14 Mei 1998.

A. Peristiwa 27 Juli 1996 Adalah Politik Dizalimi (Play Victim) Paling Keji Sepanjang Sejarah Indonesia

Robert Odjahan Tambunan (tokoh PDIP) dalam bukunya Otobiografi Politik RO. Tambunan: "Membela Demokrasi" mengungkapkan bahwa Megawati bisa mencegah jatuhnya korban dalam Peristiwa 27 Juli 1996 karena dia sudah tahu beberapa hari sebelumnya dari Benny Moerdani. Akan tetapi Megawati ternyata lebih memilih kepentingan politik daripada kemanusiaan (hal. 150); Megawati menyogok Kelompok 124, korban serbuan kantor PDI yang diadili, agar tidak menuntut kelompok TNI (hal. 172); dan Megawati tidak pernah ingin menyelesaikan kasus tersebut antara lain terbukti tahun 2002 memilih gubernur Sutiyoso yang terlibat kasus Peristiwa 27 Juli 1996 (hal. 374).

Rachmawati Soekarnoputri dalam tulisannya: "Membongkar Hubungan Mega dan Orba" di Harian Rakyat Merdeka 31 Juli 2002 dan 1 Agustus 2002 menyebutkan bahwa Benny Moerdani mulai menjalankan rencananya bersekongkol dengan Megawati demi menaikkan seseorang dari keluarga Soekarno sebagai lawan tanding Soeharto dengan merekayasa Peristiwa 27 Juli 1996.

Kutipan dari Catatan Rachmawati Soekarnoputri:

“Sebelum mendekati Mega, kelompok Benny Moerdani mendekati saya [Rachmawati] terlebih dahulu. Mereka membujuk dan meminta saya tampil memimpin PDI. Permintaan orang dekat dan tangan kanan Soeharto itu jelas saya tolak. Bagi saya PDI itu cuma alat hegemoni Orde Baru yang dibentuk sendiri oleh Soeharto tahun 1973. Coba renungkan untuk apa jadi pemimpin boneka? Orang-orang PDI yang dekat dengan Benny Moerdani, seperti Soerjadi dan Aberson Marie Sihaloho pun ikut mengajak saya gabung ke PDI. Tetapi tetap saya tolak.”

Dari catatan di atas kita menemukan nama-nama yang saling terkait dalam Peristiwa 27 Juli 1996, antara lain: Benny Moerdani; Megawati; Dr. Soerjadi; Sofjan Wanandi; dan Aberson Marie Sihaloho, dan ini adalah “eureka moment” yang membongkar persekongkolan jahat karena Aberson Marie Sihaloho adalah orang yang pertama kali menyebar pamflet bahwa Megawati calon pemimpin masa depan sehingga menimbulkan kecurigaan Mabes ABRI (sama seperti modus Dokumen Ramadi sebelum Malari); sedangkan Dr. Soerjadi adalah Ketum PDI pengganti Megawati pasca Kongres Medan (atas biaya Sofjan Wanandi) yang menyerbu kantor PDI dan selama ini diasumsikan perpanjangan tangan Soeharto ternyata agen ganda didikan Benny Moerdani, dan tentu saja Agum Gumelar-Hendropriyono, murid Benny Moerdani juga berada di sisi Megawati atas perintah Benny Moerdani sebagaimana ditulis Jusuf Wanandi dari CSIS dalam memoarnya, Shades of Grey/Membuka Tabir Orde Baru.

Fakta di atas menjawab alasan Presiden Megawati menolak menyelidiki Peristiwa 27 Juli 1996 sekalipun harus mengeluarkan kalimat pahit kepada para korban seperti “Siapa suruh kalian mau ikut saya?” dan malah memberi jabatan tinggi kepada SBY yang memimpin rapat Operasi Naga Merah; Sutiyoso komando lapangan penyerbuan Operasi Naga Merah; dan tidak lupa Agum Gumelar dan AM Hendropriyono yang pura-pura melawan koleganya. Sama saja Megawati bunuh diri bila dia sampai menyelidiki kejahatannya sendiri.

Fakta-fakta di atas juga membuktikan bahwa dokumen yang ditemukan pasca ledakan di Tanah Tinggi tanggal 18 Januari 1998 yang menyebutkan ada rencana revolusi dari Benny Moerdani; Megawati; CSIS dan Sofjan-Jusuf Wanandi membiayai gerakan PRD (Partai Rakyat Demokrat) adalah dokumen asli dan otentik serta bukan buatan intelijen untuk mendiskriditkan PRD sebagaimana pembelaan mereka selama ini. Bunyi salah satu dokumen yang berupa email di laptop adalah:

“Kawan-kawan yang baik! Dana yang diurus oleh Hendardi belum diterima, sehingga kita belum bisa bergerak. Kemarin saya dapat berita dari Alex bahwa Sofjan Wanandi dari Prasetya Mulya akan membantu kita dalam dana, di samping itu bantuan moril dari luar negeri akan diurus oleh Jusuf Wanandi dari CSIS. Jadi kita tidak perlu tergantung kepada dana yang diurus oleh Hendardi untuk gerakan kita selanjutnya.”

(Majalah Gatra edisi 31 Januari 1998)

B. Kerusuhan 13-14 Mei 1998, Gerakan Benny Moerdani Menggulung Soeharto; Prabowo; dan Menaikan Megawati Soekarnoputri Ke Kursi Presiden.

Pernah dengar kisah Kapten Prabowo melawan usaha kelompok Benny Moerdani dan CSIS mendeislamisasi Indonesia? Kisah ini fakta dan sudah banyak buku sejarah yang membahas kisah-kisah saat itu, salah satunya cerita Kopassus masa kepanglimaan Benny. Saat Benny menginspeksi ruang kerja bawahan dia melihat sajadah di kursi dan bertanya “Apa ini?,” jawab sang perwira, “Sajadah untuk shalat, Komandan.” Benny membentak “TNI tidak mengenal ini.” Benny juga sering rapat staf saat menjelang ibadah Jumat sehingga menyulitkan perwira yang mau sholat Jumat.

Hartono Mardjono sebagaimana dikutip Republika tanggal 3 Januari 1997 mengatakan bahwa rekrutan perwira Kopassus sangat diskriminatif terhadap yang beragama Islam, misalnya dari 20 orang, 18 di antaranya adalah perwira beragama non Islam dan dua dari Islam. Penelitian Salim Said juga menemukan hal yang sama bahwa perwira yang menonjol keislamannya, misalnya mengirim anak ke pesantren kilat pada masa libur atau sering hadiri pengajian diperlakukan diskriminatif dan tidak mendapat kesempatan sekolah karena dianggap fanatik, singkatnya karirnya pasti suram.

Perhatikan perwira tinggi yang menduduki pos penting ketika Benny Moerdani berkuasa: Sintong Panjaitan; Try Sutrisno; Wiranto; TB Silalahi; TB Hasanuddin; R.S. Warouw; Albert Paruntu; AM Hendropriyono; Agum Gumelar; Sutiyoso; Susilo Bambang Yudhoyono; Luhut Panjaitan; Ryamizard Ryacudu; Jonny Lumintang; Tyasno Sudarto; Albert Inkiriwang; HBL Mantiri; Fachrul Razi; Adolf Rajagukguk; Theo Syafei; Soebagyo HS dll, maka terlihat pola tidak terbantahkan bahwa perwira tinggi pada masa kekuasaan Benny Moerdani adalah non Islam atau Islam abangan (“non-fanatik” atau “non-Islam santri” menurut versi Benny). Ketidakadilan inilah yang dilawan Prabowo antara lain bersama BJ Habibie membentuk ICMI yang sempat dilawan habis-habisan oleh kelompok Benny Moerdani. Tidak heran anggota kelompok Benny Moerdani yang masih tersisa membenci Prabowo yang melawan mereka menghancurkan cita-cita mendeislamisasi Indonesia.

Mengapa Benny Moerdani dan CSIS mau mendeislamisasi Indonesia? Karena CSIS didirikan oleh agen CIA, Pater Beek yang awalnya ditempatkan di Indonesia untuk melawan komunis namun setelah “Bahaya Merah”(komunis) teratasi, dia membuat analisa bahwa lawan Amerika Serikat berikutnya ada dua yaitu: “Hijau ABRI” dan “Hijau Islam,” lalu menyimpulkan ABRI bisa dimanfaatkan untuk melawan Islam, maka berdirilah CSIS yang dioperasikan oleh anak didiknya: Sofjan, Jusuf Wanandi, Harry Tjan, dan mewakili ABRI: Ali Moertopo, dan Soedjono Hoemardani (lihat: tulisan George Junus Aditjondro, mantan murid Pater Beek: CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo dan LB Moerdani).

Terbukti gerakan anti Prabowo di kubu Golkar-PDIP-Hanura-NasDem-Demokrat berhubungan dengan kelompok anti Islam yang pernah dijegal Prabowo.

Perhatikan pendukung Jokowi-JK: Sutiyoso (Pangdam Jaya saat Kerusuhan 13-14 Mei 1998); Agus Widjojo; Fachrul Razi, Ryamizard Ryacudu (menantu wapres Try Sutrisno periode 1993-1998, agen Benny Moerdani); Agum Gumelar-Hendropriyono (loyalis Benny Moerdani); Andi Widjajanto (anak Theo Syafei); Fahmi Idris; Luhut Panjaitan; Tyasno Sudarto; Soebagyo HS (KSAD saat Kerusuhan 13-14 Mei 1998); Wiranto; TB Silalahi; TB Hasanuddin dll.

Jusuf Wanandi dalam memoarnya menulis bahwa ketika Presiden Soeharto berhasil menetralisir pengaruh Try Soetrisno dengan menempatkan Feisal Tanjung dan Prabowo Subianto dan tidak ada lagi yang bisa dilakukan Benny Moerdani, maka kubu Moerdani menempatkan harapan kepada Wiranto. Setelah dilantik sebagai Panglima ABRI, diketahui Wiranto menghadap Benny Moerdani dan meminta bertemu setiap bulan. Tanggapan Benny menurut Jusuf Wanandi dan Salim Said adalah:

“Jangan berilusi, orang tua itu [Soeharto] tidak menyukai saya, tidak percaya kepada saya. Anda (Wiranto) harus tetap di sana karena Anda satu-satunya yang kita miliki. Jangan membuat kesalahan karena kariermu akan selesai jika Soeharto tahu Anda dekat dengan saya.”

(Menyibak Tabir Orde Baru, hal. 365-366; Salim Said, hal. 320)

Wiranto memang membantah memiliki hubungan dekat dengan Benny, namun ada cara membuktikan Wiranto telah berbohong. Pertama, dalam memoarnya, Jusuf Wanandi bercerita pasca jatuhnya Soeharto, Wiranto menerima dari Benny daftar perwira yang dinilai sebagai “ABRI Hijau”, dan dalam sebulan semua orang dalam daftar nama tersebut disingkirkan Wiranto. Ketika dikonfrontir mengenai hal ini, Wiranto mengatakan cerita “daftar nama” adalah bohong, namun bila kita lihat kembali masa-masa setelah Soeharto jatuh maka faktanya banyak perwira “hijau” yang dimutasi Wiranto dan sempat menuai protes.

Wiranto menuduhkan semua kesalahan terkait Operasi Setan Gundul kepada Prabowo; menghasut BJ Habibie bahwa Prabowo akan melakukan kudeta sehingga Prabowo diberhentikan dari dinas militer; dan adu domba Soeharto dengan menantunya seolah Prabowo dan BJ Habibie bekerja sama menjatuhkan Soeharto sehingga dipaksa bercerai dari Titiek Soeharto.

Bicara “kesalahan” Prabowo tentu tidak lengkap tanpa mengungkit Kerusuhan 13-14 Mei 1998 yang ditudingkan pada dirinya padahal jelas-jelas Wiranto sebagai Panglima ABRI pergi ke Malang membawa Kasau, Kasal, Kasad dan Pangkostrad serta menolak permohonan Prabowo untuk mengerahkan pasukan demi mengusir perusuh. Berdasarkan temuan fakta di atas bahwa Benny Moerdani ingin menjatuhkan Soeharto melalui kerusuhan rasial dan Wiranto adalah satu-satunya orang Benny Moerdani di lingkar dalam Soeharto maka patut diduga Wiranto sengaja melarang pasukan keluar dari barak karena berniat membiarkan kerusuhan, tapi rencananya berantakan ketika pasukan marinir berinisiatif keluar kandang menghalau perusuh.

Selain itu tiga fakta yang menguatkan kesimpulan bahwa Benny Moerdani dalang Kerusuhan 13-14 Mei 1998 adalah sebagai berikut:

1. Menjatuhkan lawan dengan “gerakan massa” adalah keahlian Ali Moertopo (guru Benny Moerdani) dan CSIS yang terkenal sejak Peristiwa Malari ’74 yang meletus karena provokasi Hariman Siregar, binaan Ali Moertopo (selengkapnya lihat kesaksian Jenderal Soemitro yang dicatat Heru Cahyono dalam buku Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 74 terbitan Sinar Harapan).

2. Menurut temuan TGPF Kerusuhan 13-14 Mei 1998, penggerak lapangan adalah orang berkarakter militer yang sangat cekatan memprovokasi warga untuk menjarah dan membakar. Ini ciri-ciri orang yang terlatih sebagai intelijen, padahal baik Wiranto atau Prabowo adalah perwira tipe komando dan bukan tipe intelijen, sedangkan saat itu hanya Benny Moerdani yang memiliki kemampuan merekayasa kerusuhan skala besar karena dia mewarisi taktik dan jaringan yang dibangun Ali Moertopo (mengenai jaringan dimaksud bisa dibaca di Rahasia-Rahasia Ali Moertopo terbitan Tempo-Gramedia). Fakta lain saat kejadian terbukti Benny sedang rapat di Bogor dan ada laporan intelijen bahwa provokator kerusuhan 27 Juli 1996 dan 13-14 Mei 1998 dilatih di Bogor.

3. Saat Kerusuhan 13-14 Mei 1998, Fachrul Razi yang saat itu menjabat sebagai Kasum melarang pengerahan pasukan untuk membantu Kodam Jaya menghentikan kerusuhan sistematis dan penjarahan. Perlu ditambahkan Fachrul Razi adalah binaan Benny di dalam kabinet Presiden Soeharto yang terakhir.

www.liputan6.com/fullnews

Penutup

Benarkah Benny Moerdani tega membasahi tangannya dengan darah rakyat yang tidak berdosa? Tidak ada keraguan: Benny Moerdani berprinsip membunuh sebagian rakyat demi selamatkan negara layak dilakukan, sebagaimana diungkap David Jenkins, wartawan senior Australia yang memiliki jaringan luas dengan jenderal Orba dalam orbituari kepada Benny Moerdani, “Charismatic, Sinister Soeharto Man”:

“Hardened in battle and no stranger to violence, Moerdani believed that the ends justify the means, He once shocked members of an Indonesian parliamentary committee by saying, in effect, that if he had to sacrifice the lives of 2 million Indonesians to save the lives of 200 million Indonesians he would do so.”

Para murid Benny Moerdani pendukung Jokowi tampaknya mewarisi kekejaman sang guru, misalnya Luhut Panjaitan pernah menghujani mahasiswa yang sedang berdemo dengan peluru tajam, menimbulkan banyak korban jiwa, dan hal ini diceritakan tanpa rasa bersalah:

“Letusan peluru itu tidak digubris para pendemo. Mereka terus melempari tentara dengan batu. Merasa terdesak Luhut [Panjaitan] memerintahkan anak buahnya menembak kaki para pendemo. Situasi makin kacau karena mereka kocar-kacir. Tentara yang mengejar tidak lagi mengarahkan moncong ke aspal, tapi sudah mengincar sasaran. Luhut menduga banyak yang tewas saat kejar-kejaran itu.”

(Massa Misterius Malari, Tempo, hal. 71)

Kekejaman Luhut Panjaitan membuatnya menjadi anak emas Benny Moerdani, sehingga wajar Luhut Panjaitan menyimpan kebencian begitu besar terhadap Prabowo karena dia kehilangan status dan fasilitas istimewa setelah Benny Moerdani tersingkir:

“Berbeda dengan panglima-panglima sebelum dan sesudahnya, Benny memang memelihara sejumlah orang yang disenanginya. “Mereka itu semacam golden boys Benny Moerdani”. Salah satu yang dikenal sebagai “anak emas” itu adalah Luhut Binsar Panjaitan.”

(Salim Said, hal. 343)

Kekejaman yang sama turut dimiliki AM Hendropriyono, murid Benny lain yang kini mendampingi Jokowi karena dia pelaku pembantaian Talangsari, Lampung; DOM di Aceh, lalu bersama Muchdi PR dan Ass’at (keduanya mendukung pilpres Jokowi-JK) adalah dalang pembunuhan Munir

lihat: www.wikileaks.org/07JAKARTA163

Sudah tidak bisa dibantah bahwa alasan anak didik Benny Moerdani mendukung Jokowi-JK sekalipun mengorbankan keutuhan partai masing-masing (PDIP, Hanura, Golkar, Demokrat) sekedar untuk melawan Prabowo adalah dendam kesumat yang belum terpuaskan sebab Prabowo menghalangi usaha mendeislamisasi Indonesia.

Jusuf Wanandi, sahabat baik Benny Moerdani menulis:

“But, maybe Benny’s biggest nemesis was Soeharto son-in-law, Prabowo Subianto.”

(Shades of Grey, hal. 240)

“…Saya menganggap lawan utama Benny adalah Prabowo Subianto, menantu Presiden Soeharto.”

(Menyibak Tabir Orde Baru, hal. 327)

Kita harus berterima kasih kepada Julian Assange karena mendirikan website Wikileaks yang membocorkan berbagai dokumen rahasia milik Amerika Serikat sebab tanpanya kita tidak akan mengetahui bahwa tim di belakang Jokowi sudah menjalankan agenda Amerika di Indonesia sejak tahun 2005. Berdasarkan dokumen rahasia CIA tertanggal 7 April 2006 yang diunggah Wikileaks kita mengetahui bahwa pada tanggal yang sama agen rahasia CIA bernama Pierangelo dan David S. Williams bertemu Jokowi selaku Walikota Solo yang baru dilantik 7 bulan sebelumnya.

Agenda pertemuan adalah membahas Abu Bakar Ba’asyir dari Ponpres Ngruki yang disebut Riduan Isamuddin alias Hambali (pelaku serangan 9/11) terkait jaringan Al Qaeda di Indonesia bernama Jamaah Islamiyah. Dalam pertemuan agen CIA tersebut minta Jokowi mengendalikan Abu Bakar Ba’asyir dan disanggupi oleh Jokowi.

Setelah itu Jokowi mendekati Abu Ba’asyir secara pribadi dan hubungan keduanya menjadi sangat dekat bagai seorang ayah dan anak, terbukti kendati sedang mendekam di dalam penjara namun pada tanggal 30 Januari 2013 Abu Bakar Ba’asyir sempat mengirim utusan menemui Jokowi sekedar menyampaikan salam; yang dibalas oleh Jokowi dengan ucapan terima kasih dan salam balik.

Jokowi memang berhasil mengontrol Abu Bakar Ba’asyir dan mendapat pujian dari Dubes AS bernama Cameron R. Hume pada tahun 2008 sebagaimana bocoran kawat diplomatik di Wikileaks yang dikirim ke Pentagon dengan judul “Solo, From Radical Hub To Tourist Heaven,” yang intinya melaporkan bahwa Jokowi telah berhasil mengendalikan Abu Bakar Ba’asyir dan menekan tingkat kemilitanan Ponpres Ngruki yang terkenal radikal.

Selanjutnya pada tahun yang sama yaitu tahun 2008, Jokowi kedatangan Agus Widjojo, Luhut Binsar Pandjaitan dan Hendropriyono. Luhut bekerja sama dengan Jokowi membentuk perusahaan patungan bernama PT Rakabu Sejahtera dengan modal awal dari Luhut Rp. 15,5 miliar dan dari anak Jokowi bernama Gibran Rakabumi Raka sebesar Rp. 19,2 miliar. Perlu dicurigai bahwa perusahaan hanya kedok sebuah operasi intelijen karena tidak lama setelah Jokowi menjadi Gubernur DKI, kantor perusahaan tersebut dua kali terbakar dalam waktu berdekatan.

Kehadiran Hendropriyono dan Luhut Pandjaitan semakin melekatkan pengaruh Amerika pada kehidupan Jokowi sebab mereka adalah murid langsung dan anak emas Jenderal Benny Moerdani, seorang petinggi CSIS, sebuah lembaga yang didirikan agen CIA bernama Pater Beek. CSIS dan Pater Beek bukanlah satu-satunya hubungan CIA dengan Jokowi, sebab penanggung jawab proses memoles citra Jokowi dari walikota gagal menjadi “pemimpin muda masa depan” hingga masuk gerbang pencapresan adalah Goenawan Mohamad yang kerap menerima uang negara asing dan anak didik Ivan Kats, seorang agen CIA. Khusus CSIS, sejak awal mereka memiliki hubungan dengan Ali Moertopo yang terkenal dengan Opsus dan pernah merekayasa kerusuhan Malari pada 15 Januari 1974 dan setelah kematian Ali Moertopo, tampaknya Opsus diwariskan kepada Jusuf Wanandi, pemimpin tertinggi CSIS saat ini karena Wikileaks menemukan Jusuf Wanandi adalah orang Opsus:

“6. ASIDE FROM MURTONO, HOWEVER, ALI MURTOPO AND OPSUS SEEM TO HAVE DONE RATHER WELL. NUMBER TWO MAN (MARTONO) HAS LONG BEEN KNOWN AS OPSUS MAN IN OLD KOSGORO ORGANIZATION. JUSUF WANANDI (LIM BIAN KIE) HAS KEY POSITION HEADING LIST OF SECRETARIES ORGANIZED ACCCORDING TO FUNCTION, AND OPSUS STALWARTS DOMINATE AT THIS WORKING LEVEL.”

www.wikileaks.org/JAKART10795

Kemunculan anak emas Benny Moerdani dari CSIS yang merupakan kepanjangan tangan kepentingan Amerika di Solo dan dilengkapi perangkat rekayasa ala Opsus sangat patut diduga terkait usaha mempersiapkan Jokowi sebagai presiden boneka Amerika Serikat. Jokowi dan timsesnya berhak membantah sebagai boneka Amerika dan CSIS. Namun keberadaan Ajianto Dwi Nugroho yang dikader oleh murid-murid Pater Beek di dalam Jasmev (Jokowi Advanced Social Media Volunteers) untuk memenangkan Jokowi pada Pilkada DKI dan sekarang melalui cabang Jasmev, PartaiSocmed untuk memenangkan pilpres tidak bisa dibantah.

Selain itu kita ingat kejadian April 2014 di mana Jokowi membawa Megawati menghadap Duta Besar Amerika, Inggris dan Kanada di rumah petinggi CSIS bernama Jacob Soetoyo dan kembali menyerahkan lehernya beberapa hari sebelum deklarasi pencapresannya adalah fakta umum yang tidak bisa dibantah.

Sebelum kita melanjutkan, apakah anda tahu bahwa salah satu taktik deislamisasi yang dilakukan oleh CSIS adalah melalui kebijakan kader mereka Daoed Joesoef yang saat menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melarang sekolah libur pada hari Ramadhan dan siswi beragama Islam dilarang menggunakan jilbab yang mana serupa dengan kebijakan Benny Moerdani yang melarang sajadah di lingkungan ABRI dan selalu mempersulit prajurit yang bermaksud sholat Jumat?

www.tikusmerah.com/

Dengan fakta di atas maka sangat tidak mengherankan bila beberapa hari lalu seorang Dubes AS Robert Blake mencoba melakukan kampanye hitam menyerang Prabowo demi membantu meningkatkan peluang bagi capres boneka Amerika memenangkan pertarungan pilpres mendatang. Selain itu tidak heran juga ketika menjelang pilpres terbit sebuah fitnah keji bahwa Prabowo menghina kebutaan Gus Dur yang dilancarkan oleh media massa Time melalui tulisan jurnalis anti Indonesia bernama Yenny Kwok yang bersumber dari tulisan jurnalis anti Indonesia lain bernama Allan Neirn karena artikel tersebut memang hampir dapat dipastikan pesanan dari Pemerintah Amerika Serikat.

Belum selesai serangan kampanye hitam dari Dubes AS; dan Time melalui tangan duo Yenny Kwok dan Allan Neirn yang terafiliasi dengan mantan pelaku G30S/PKI bernama Carmel Budiardjo yang selama 50 tahun melancarkan kampanye anti Indonesia di dunia internasional, sekarang datang serangan dari Sofyan Wanandi, pemimpin para pengusaha-pengusaha di Indonesia yang mengatakan bahwa para pengusaha khawatir bila Prabowo menjadi presiden.

Siapa Sofyan Wanandi? Dia adalah adik Jusuf Wanandi dan orang yang memulai salah satu pembusukan karakter paling keji terhadap Prabowo ketika diwawancara wartawan Adam Schwarz mengatakan seolah Prabowo pernah bilang akan mengusir semua orang Cina sekalipun hal itu akan membuat ekonomi Indonesia hancur, namun Sofyan Wanandi membantah bahwa ia pernah mengeluarkan pernyataan seperti itu dengan alasan “jurnalis salah paham.”

Sebagai adik penguasa Opsus, Sofyan Wanandi memang bukan pengusaha biasa, terbukti dia adalah donatur utama banyak penggarapan yang dilakukan Opsus era pimpinan Jusuf Wanandi dan CSIS seperti membiayai Kongres PDI di Medan ketika Benny Moerdani merekayasa politik dizolimi dengan “menjatuhkan” Megawati dari kursi Ketua Umum PDI dan diganti oleh “antek Orde Baru” Dr. Soerjadi yang menurut kesaksian dari Rachmawati Soekarnoputri sebenarnya adalah orang binaan Benny Moerdani juga.

Nama Sofyan Wanandi juga kembali disebut dalam dua dokumen yang ditemukan pasca meledaknya bom rakitan di Rumah Susun Johar di Tanah Tinggi, Tanah Abang tanggal 18 Januari 1998. Saat aparat menyisir lokasi ledakan ditemukan sebuah laptop berisi arsip e-mail dan dokumen notulen rapat “Kelompok Pro Demokrasi” di Leuwiliang, Bogor, pada tanggal 14 Januari 1998 yang merencanakan revolusi dan dihadiri oleh 19 aktivis mewakili 9 organisasi terdiri dari kelompok senior dan kelompok junior. Adapun kelompok senior terdiri atas:

Pertama, CSIS yang bertugas membuat analisis dan menyusun konsep perencanaan aktivitas ke depan.

Kedua, Benny Moerdani.

Ketiga, PDI Pro Megawati Soekarnoputri.

Keempat, kekuatan ekonomi diwakili oleh Sofjan Wanandi dan Yusuf Wanandi.

Sedangkan isi email:

“Kawan-kawan yang baik! Dana yang diurus oleh Hendardi belum diterima, sehingga kita belum bisa bergerak. Kemarin saya dapat berita dari Alex [Widya Siregar] bahwa Sofjan Wanandi dari Prasetya Mulya akan membantu kita dalam dana, di samping itu bantuan moril dari luar negeri akan diurus oleh Jusuf Wanandi dari CSIS. Jadi kita tidak perlu tergantung kepada dana yang diurus oleh Hendardi untuk gerakan kita selanjutnya.”

Sumber: Majalah Gatra edisi 31 Januari 1998

Kedua dokumen di atas selain membuktikan Sofyan Wanandi, Jusuf Wanandi, CSIS, Benny Moerdani dan Megawati adalah bagian dari kelompok yang bermaksud membuat sebuah kerusuhan yang dibungkus sebagai revolusi, ternyata terungkap juga bahwa Hendardi dari PBHI yang beberapa bulan terakhir konsisten meributkan pencapresan Prabowo dengan membawa isu HAM dan penculikan adalah bagian dari kelompok tersebut dengan tugas mencari pendanaan. Aksi-aksi Hendardi mempolitisasi penangkapan terduga teroris pada tahun 1998 tersebut juga dilakukan oleh Tempo, majalah milik anak didik agen CIA yaitu Goenawan Mohamad dan Haris Azhar dari Kontras yang pernah meminta Uni Eropa melanggar kedaulatan Indonesia dengan melakukan intervensi terhadap pemerintah Indonesia. Selain itu politisasi juga dilakukan Metro TV milik Surya Paloh.

protectioninternational.org/video

Bagi kalangan aktivis yang sampai sekarang masih memegang teguh idealisme, orang seperti Hendardi, Goenawan Mohamad, dan Haris Azhar dimasukkan ke dalam kelompok “Pedagang Orang Hilang,” sebab mereka memperdagangkan isu “Orang Hilang” melalui serangkaian politisasi demi untuk mencapai keinginan mereka baik berupa uang donasi, jabatan, kedudukan sosial, atau mendiskriditkan lawan mereka.

Hal ini terbukti dari fakta bahwa para orang yang berkumpul dalam Asosiasi Pedagang Orang Hilang ini tidak meliput pernyataan Andi Arief, salah satu “korban penculikan 1998″ bahwa Wiji Thukul, orang yang kerap menjadi salah satu ikon para Pedagang Orang Hilang ternyata masih hidup dengan sehat setidaknya dua bulan setelah reformasi dan fakta ini diketahui oleh Goenawan Mohamad dan Stanley dari Tempo, dan Jaap Erkelens.

akhirnya-andi-arief-bercerita-soal-widji-thukul

m.rmol.co/news.php

Selain fakta Wiji Thukul masih hidup dan sehat, para Pedagang Orang Hilang juga menyembunyikan fakta bahwa sejak 16 tahun lalu tim SiaR bentukan Goenawan Mohamad sudah menemukan bukti bahwa Prabowo tidak bersalah dan hanya difitnah. Mereka juga sengaja tidak meliput berita penyerahan dokumen kepada Komnas HAM berisi notulen rapat pembahasan Operasi Kuningan di antara para jenderal Orde Baru untuk memfitnah Prabowo.

Temuan tim SiaR adalah:

“Tapi, teknik ABRI menyelesaikan intern soal penculikan ini, agaknya memang sengaja ditempuh untuk menghindari terbongkarnya orang-orang di balik pemecatan Prabowo. Sebuah sumber di Mabes ABRI mengatakan, sebetulnya Prabowo punya surat perintah penculikan itu, yang diteken oleh Jenderal Feisal Tanjung, Pangab sebelumnya. Surat itu, konon, akan dibeberkan kalau Prabowo diseret ke Mahmilub. Akibatnya, Wiranto berkompromi dengan menjatuhkan hukuman yang ringan untuk Prabowo.”

www.minihub.org/siarlist/

Dokumen yang diserahkan kepada Komnas HAM adalah notulen rapat terbatas tanggal 17 Juli 1998 di rumah Wiranto yang dihadiri oleh Agum Gumelar, Soebagio HS, Fachrul Rozi, dan Yusuf Kartanagara yang mana Agum Gumelar mengemukakan pendapat mengenai perlunya menciptakan “aktor” yang akan dijadikan dalang segala dalang kerusuhan Mei dan “penculikan aktivis,” selanjutnya Soebagyo HS menyarankan agar kepergian ke Malang tanggal 14 Mei 1998 dijadikan alibi untuk mengarahkan Prabowo sebagai aktor utama kerusuhan di Jakarta dan penangkapan aktivis. Letjend Fachrul Rozi juga mengusulkan pembentukan Dewan Kehormatan Perwira tanpa Mahkamah Militer untuk memberhentikan Prabowo sekaligus menciptakan opini bahwa Prabowo adalah dalang kerusuhan di Jakarta. Terakhir Wiranto memberi perintah agar para “aktivis” yang belum dilepas untuk “disukabumikan" istilah lain dari dibunuh.

Untuk membuktikan keaslian atau kepalsuan dokumen tersebut cukup mudah yaitu melakukan pemeriksaan forensik terhadap tanda tangan para peserta rapat yang dibubuhkan di dalam dokumen notulensi. Bila tanda tangannya asli, maka tidak ada alasan untuk tidak membawa Wiranto, Soebagyo HS, Fachrul Razi, dan Agum Gumelar ke pengadilan.

wiranto-perintahkan-13-aktifis-98-dibumihanguskan

Kenapa Tempo; Media Indonesia; Metro TV; Jawa Pos dll yang biasa “peduli HAM” dan “penculikan aktivis” tidak membuat laporan kejadian tersebut? Padahal bila dokumen ternyata asli, maka kita akan bisa mengungkap penembakan Trisakti sampai Kerusuhan 13-14 Mei 1998

Posting Komentar

0 Komentar

Top Post Ad

Below Post Ad