Penulis Von Edison Alouisci
Manusia adalah makhluk sosial yang mendambakan hidup damai dan harmonis. Adalah normal jika manusia mengalami ketertarikan dengan lawan jenisnya. Motivasi untuk bisa mengenal karakter, menyamakan pandangan hidup dan motif-motif lainnya, seringkali dijadikan dalih pembenaran untuk melakukan pacaran, bahkan beberapa pihak ada yang sedikit peduli dengan kelestarian norma etik-sosial sehingga merumuskan konsep “Pacaran Islami”.
Cinta dalam Islam tidak dilarang, karena ia berada diluar kendali manusia. Dalam Al-Quran disebutkan:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita (Q.S Ali-Imran 14)
ayat diatas menjelaskan bahwa dalam diri manusia telah ditanam benih-benih cinta yang yang sewaktu-waktu bisa tumbuh ketika menemukan kecocokan jiwa. Bahkan, cinta merupakan anugrah yang harus disyukuri dengan mengekspresikan dan membinanya sesuai dengan norma syari’at. Islam dengan universalitas ajarannya telah mengatur hubungan manusia baik secara vertikal maupun horizontal, tak terkecuali hubungan antara dua muda-mudi yang sedang dirundung asmara.
Diakui atau tidak, rasa cinta dapat mendorong terhadap perubahan perilaku seseorang yang sedang dilandanya. Bahkan terkadang dapat memotifasi terhadap tingkah laku buruk (tidak sesuai dengan syari’at). Seribu cara ia lakukan demi mewujudkan
Satu hal yg mesti diperhatikan..
Dari Ma’qil bin Yasar Radiallahu ‘Anhu bahawa Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: Andaikata kepala salah seorang dari kamu ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Majma’ az-Zawaid: 4/329. Al-Imam al-Haithami menyatakan perawinya perawi yang sahih.
Di dalam hadis yang lain: Daripada Abu Hurairah Radiallahu ‘Anhu, Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bahagiannya daripada zina, dia mengalami hal tersebut secara pasti. Mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, dan kaki zinanya adalah berjalan, dan hati berhasrat dan berangan-angan, dan kemaluan akan membenarkan atau mendustakannya (berzina atau tidak). Sahih Muslim: 2657
Dari Hadits ini..sesungguhnya..menyiratkan..betapa hukum pacaran.itu terlarang..karna di khawatirkan mendekati zinah atau malah berzinah.
Imam ibn Hajar al-Asqalani dalam karyanya Fath al-Bari (syarh Sahih al-Bukhari) mengatakan bahwa berbicara dengan wanita diperbolehkan hanya dalam kondisi dharurat saja. Di dalam Is’ad al-Rafiq disebutkan “Salah satu diantara berbagai macam maksiat adalah melakukan sesuatu yang dapat berpotensi menimbulkan keharaman”. Al-Ghazali dalam Ihya’-nya mengatakan melakukan sesuatu yang menurut umumnya(ada dugaan kuat) menimbulkan kemaksiatan adalah maksiat. Menurutnya, sebuah maksiat tidak harus wujud secara real.
Khitbah, Solusi Berpahala
Pernikahan dapat terjalin dengan penuh rasa kepercayaan bila didasari pengetahuan akan karakter masing-masing dari dua sejoli. Pernikahan dalam Islam bukanlah sekedar tempat berlabuh hasrat seksual, tetapi merupakan peristiwa sakral yang menyatukan antara sepasang manusia dalam satu bahtera rumah tangga yang bertanggung jawab, hak dan kewajiban bersama untuk membina dan mengarungi mahligai cinta menyambung estafet kehidupan, sebagaimana yang telah dianjurkan oleh baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Agar nilai sakralitas sebuah pernikahan tetap terjaga, maka posisi khitbah sangat urgen untuk menjembatani kemungkinan kekecewaan kedua belah pihak sebelum ikrar nikah. Lantaran proporsi fundamental khitbah hanya sebagai media ta’aruf (saling mengenal), maka legalitas kedekatan hubungan ini sangat terbatas.
Para ulama sepakat bahwa khithbah sebelum nikah hukumnya diperbolehkan. Namun mereka berbeda pendapat apakah khithbah hukumnya sunah ataukah hanya diperbolehkan saja?
Pendapat yang kuat dari kalangan Syafi’iyah mengatakan bahwa khithbah hukumnya sunah.
Mereka beralasan karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam pernah melamar (Khitbah) Aisyah binti Abu Bakar dan Hafshah binti Umar ibn khaththab. Sementara mayoritas ulama mengatakan boleh, tidak disunahkan.
Para fuqaha sepakat bahwa seorang pria yang bertujuan untuk menikahi seorang wanita diperkenankan terlebih dahulu melihatnya meskipun pihak wanita tidak memberi izin.
Ibn Qudamah mengatakan: “Saya tidak mengetahui para ulama berbeda pendapat tentang diperbolehkan melihat perempuan bagi seseorang yang hendak menikahinya”. Mayoritas ulama (Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah dan sebagian Hanabilah ), mengatakan bahwa hukum melihat tersebut adalah sunah, berdasarkan hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam
اُنْظُرْ إِلَيْهَا ، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يَدُوم بَيْنكُمَا المَوَدَّةُ وَالأُلْفَةُ
“Lihatlah dia, karena hal itu lebih layak melestarikan rasa cinta dan sayang diantara kalian berdua” (HR. Ibn Hibban.
Sebaliknya, seorang perempuan juga dianjurkan untuk melihat calon suami sebagai pendamping hidupnya. Bahkan terkait dengan persoalan ini, Ibn Abidin mengatakan seorang wanita lebih berhak dari pada laki-laki, sebab bagi seorang laki-laki mempunyai peluang besar untuk meninggalkan wanita yang tidak dicintainya, berbeda halnya dengan seorang perempuan, ia akan kesulitan untuk mencari pengganti yang lebih ideal ketika menemukan ketidakserasian dalam diri sang suami.
Hukum diperbolehkan melihat diatas, dalam pandangan mayoritas ulama, hanya dikhususkan bagi orang yang mengetahui secara pasti atau minimal punya dugaan kuat lamarannya akan diterima. Sehingga apabila peluang cintanya ditolak lebih besar dari pada diterima, maka ia dilarang untuk melihat calon pendamping hidupnya.
Menurut mayoritas ulama, dalam proses seleksi karakter calon pendamping, seseorang hanya diperbolehkan melihat wajah dan telapak tangan (dhohir dan bathin) meskipun khawatir akan menimbulkan fitnah atau syahwat. Hal ini juga dapat dilakukan hingga berulang kali –tiga kali atau lebih- sampai yakin dan menemukan karakter calon pendamping yang ideal selama tetap menjaga aturan-aturan syara’, seperti tidak terjadi khalwah dan lain sebagainya.
Dalam hal ini, sebagian ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengatakan bahwa bagian tubuh perempuan yang boleh dilihat pada saat khitbah tidak terbatas pada wajah dan kedua telapak tangan saja. Toleransi ini, dalam pandangan mereka, lebih luas hingga pada bagian-bagian yang menurut umumnya terlihat, seperti wajah, telapak tangan, leher, telapak kaki, kepala dan betis. Mereka beralasan, karena ada kebutuhan dan hadits yang menegaskan tentang diperbolehkan melihat wajah adalah bersifat mutlak. Abu Dawud ad-Dhahiri mengatakan bahwa calon suami diperbolehkan melihat seluruh anggota badan.
Namun pendapat Ini adalah pendapat munkar dan syadz(keluar dari ketentuan syariat), sebab akan menimbulkan fitnah.
Penjajakan karakter pasangan juga dapat dilakukan dengan cara mengutus seorang perempuan atau laki-laki yang halal melihatnya, untuk selalu meneliti perihal perempuan yang hendak ia nikahi. Atau juga dapat dilakukan dengan cara konsultasi dengan orang yang lebih mengetahui perihal calon pendamping hidupnya. Bagi pihak yang dimintai konsultasi wajib untuk membeberkan semua keburukan-keburukan yang tidak dapat ditolelir. Membuka aib dalam konteks ini bukanlah sebuah larangan selama ada niat untuk saling memberi nasehat antar sesama, bukan dalam rangka menyakiti perasaan orang lain.
hubungan sepasang remaja yang sedang jatuh cinta bukan dengan hubungan tanpa batas, atau diistilahkan dengan “Pacaran Islami” yang hanya dimulai dengan basmalah dan diakhiri dengan hamdalah, namun hubungan yang dibingkai dengan nilai-nilai luhur,dihiasi dengan fitrah keindahan melalui ketentuan Islam yg benar..Ta`aruf,khitbah,walimah.
ada yg akan berkata.."zaman sekarang mah tuh dah nggak relevan"
namun ingatlah Islam relevan sampai akhir zaman kecuali oleh org org yang Ingkar merendahkan hukum Allah !! dan jika sudah berani meremehkan hukum Islam sama artinya..ia insan yang tidak mengenal Islam dalam Qalbunya.
Semoga bermanpaat
salam ukuhwah dariku
Manusia adalah makhluk sosial yang mendambakan hidup damai dan harmonis. Adalah normal jika manusia mengalami ketertarikan dengan lawan jenisnya. Motivasi untuk bisa mengenal karakter, menyamakan pandangan hidup dan motif-motif lainnya, seringkali dijadikan dalih pembenaran untuk melakukan pacaran, bahkan beberapa pihak ada yang sedikit peduli dengan kelestarian norma etik-sosial sehingga merumuskan konsep “Pacaran Islami”.
Cinta dalam Islam tidak dilarang, karena ia berada diluar kendali manusia. Dalam Al-Quran disebutkan:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita (Q.S Ali-Imran 14)
ayat diatas menjelaskan bahwa dalam diri manusia telah ditanam benih-benih cinta yang yang sewaktu-waktu bisa tumbuh ketika menemukan kecocokan jiwa. Bahkan, cinta merupakan anugrah yang harus disyukuri dengan mengekspresikan dan membinanya sesuai dengan norma syari’at. Islam dengan universalitas ajarannya telah mengatur hubungan manusia baik secara vertikal maupun horizontal, tak terkecuali hubungan antara dua muda-mudi yang sedang dirundung asmara.
Diakui atau tidak, rasa cinta dapat mendorong terhadap perubahan perilaku seseorang yang sedang dilandanya. Bahkan terkadang dapat memotifasi terhadap tingkah laku buruk (tidak sesuai dengan syari’at). Seribu cara ia lakukan demi mewujudkan
Satu hal yg mesti diperhatikan..
Dari Ma’qil bin Yasar Radiallahu ‘Anhu bahawa Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: Andaikata kepala salah seorang dari kamu ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Majma’ az-Zawaid: 4/329. Al-Imam al-Haithami menyatakan perawinya perawi yang sahih.
Di dalam hadis yang lain: Daripada Abu Hurairah Radiallahu ‘Anhu, Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bahagiannya daripada zina, dia mengalami hal tersebut secara pasti. Mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, dan kaki zinanya adalah berjalan, dan hati berhasrat dan berangan-angan, dan kemaluan akan membenarkan atau mendustakannya (berzina atau tidak). Sahih Muslim: 2657
Dari Hadits ini..sesungguhnya..menyiratkan..betapa hukum pacaran.itu terlarang..karna di khawatirkan mendekati zinah atau malah berzinah.
Imam ibn Hajar al-Asqalani dalam karyanya Fath al-Bari (syarh Sahih al-Bukhari) mengatakan bahwa berbicara dengan wanita diperbolehkan hanya dalam kondisi dharurat saja. Di dalam Is’ad al-Rafiq disebutkan “Salah satu diantara berbagai macam maksiat adalah melakukan sesuatu yang dapat berpotensi menimbulkan keharaman”. Al-Ghazali dalam Ihya’-nya mengatakan melakukan sesuatu yang menurut umumnya(ada dugaan kuat) menimbulkan kemaksiatan adalah maksiat. Menurutnya, sebuah maksiat tidak harus wujud secara real.
Khitbah, Solusi Berpahala
Pernikahan dapat terjalin dengan penuh rasa kepercayaan bila didasari pengetahuan akan karakter masing-masing dari dua sejoli. Pernikahan dalam Islam bukanlah sekedar tempat berlabuh hasrat seksual, tetapi merupakan peristiwa sakral yang menyatukan antara sepasang manusia dalam satu bahtera rumah tangga yang bertanggung jawab, hak dan kewajiban bersama untuk membina dan mengarungi mahligai cinta menyambung estafet kehidupan, sebagaimana yang telah dianjurkan oleh baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Agar nilai sakralitas sebuah pernikahan tetap terjaga, maka posisi khitbah sangat urgen untuk menjembatani kemungkinan kekecewaan kedua belah pihak sebelum ikrar nikah. Lantaran proporsi fundamental khitbah hanya sebagai media ta’aruf (saling mengenal), maka legalitas kedekatan hubungan ini sangat terbatas.
Para ulama sepakat bahwa khithbah sebelum nikah hukumnya diperbolehkan. Namun mereka berbeda pendapat apakah khithbah hukumnya sunah ataukah hanya diperbolehkan saja?
Pendapat yang kuat dari kalangan Syafi’iyah mengatakan bahwa khithbah hukumnya sunah.
Mereka beralasan karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam pernah melamar (Khitbah) Aisyah binti Abu Bakar dan Hafshah binti Umar ibn khaththab. Sementara mayoritas ulama mengatakan boleh, tidak disunahkan.
Para fuqaha sepakat bahwa seorang pria yang bertujuan untuk menikahi seorang wanita diperkenankan terlebih dahulu melihatnya meskipun pihak wanita tidak memberi izin.
Ibn Qudamah mengatakan: “Saya tidak mengetahui para ulama berbeda pendapat tentang diperbolehkan melihat perempuan bagi seseorang yang hendak menikahinya”. Mayoritas ulama (Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah dan sebagian Hanabilah ), mengatakan bahwa hukum melihat tersebut adalah sunah, berdasarkan hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam
اُنْظُرْ إِلَيْهَا ، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يَدُوم بَيْنكُمَا المَوَدَّةُ وَالأُلْفَةُ
“Lihatlah dia, karena hal itu lebih layak melestarikan rasa cinta dan sayang diantara kalian berdua” (HR. Ibn Hibban.
Sebaliknya, seorang perempuan juga dianjurkan untuk melihat calon suami sebagai pendamping hidupnya. Bahkan terkait dengan persoalan ini, Ibn Abidin mengatakan seorang wanita lebih berhak dari pada laki-laki, sebab bagi seorang laki-laki mempunyai peluang besar untuk meninggalkan wanita yang tidak dicintainya, berbeda halnya dengan seorang perempuan, ia akan kesulitan untuk mencari pengganti yang lebih ideal ketika menemukan ketidakserasian dalam diri sang suami.
Hukum diperbolehkan melihat diatas, dalam pandangan mayoritas ulama, hanya dikhususkan bagi orang yang mengetahui secara pasti atau minimal punya dugaan kuat lamarannya akan diterima. Sehingga apabila peluang cintanya ditolak lebih besar dari pada diterima, maka ia dilarang untuk melihat calon pendamping hidupnya.
Menurut mayoritas ulama, dalam proses seleksi karakter calon pendamping, seseorang hanya diperbolehkan melihat wajah dan telapak tangan (dhohir dan bathin) meskipun khawatir akan menimbulkan fitnah atau syahwat. Hal ini juga dapat dilakukan hingga berulang kali –tiga kali atau lebih- sampai yakin dan menemukan karakter calon pendamping yang ideal selama tetap menjaga aturan-aturan syara’, seperti tidak terjadi khalwah dan lain sebagainya.
Dalam hal ini, sebagian ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengatakan bahwa bagian tubuh perempuan yang boleh dilihat pada saat khitbah tidak terbatas pada wajah dan kedua telapak tangan saja. Toleransi ini, dalam pandangan mereka, lebih luas hingga pada bagian-bagian yang menurut umumnya terlihat, seperti wajah, telapak tangan, leher, telapak kaki, kepala dan betis. Mereka beralasan, karena ada kebutuhan dan hadits yang menegaskan tentang diperbolehkan melihat wajah adalah bersifat mutlak. Abu Dawud ad-Dhahiri mengatakan bahwa calon suami diperbolehkan melihat seluruh anggota badan.
Namun pendapat Ini adalah pendapat munkar dan syadz(keluar dari ketentuan syariat), sebab akan menimbulkan fitnah.
Penjajakan karakter pasangan juga dapat dilakukan dengan cara mengutus seorang perempuan atau laki-laki yang halal melihatnya, untuk selalu meneliti perihal perempuan yang hendak ia nikahi. Atau juga dapat dilakukan dengan cara konsultasi dengan orang yang lebih mengetahui perihal calon pendamping hidupnya. Bagi pihak yang dimintai konsultasi wajib untuk membeberkan semua keburukan-keburukan yang tidak dapat ditolelir. Membuka aib dalam konteks ini bukanlah sebuah larangan selama ada niat untuk saling memberi nasehat antar sesama, bukan dalam rangka menyakiti perasaan orang lain.
hubungan sepasang remaja yang sedang jatuh cinta bukan dengan hubungan tanpa batas, atau diistilahkan dengan “Pacaran Islami” yang hanya dimulai dengan basmalah dan diakhiri dengan hamdalah, namun hubungan yang dibingkai dengan nilai-nilai luhur,dihiasi dengan fitrah keindahan melalui ketentuan Islam yg benar..Ta`aruf,khitbah,walimah.
ada yg akan berkata.."zaman sekarang mah tuh dah nggak relevan"
namun ingatlah Islam relevan sampai akhir zaman kecuali oleh org org yang Ingkar merendahkan hukum Allah !! dan jika sudah berani meremehkan hukum Islam sama artinya..ia insan yang tidak mengenal Islam dalam Qalbunya.
Semoga bermanpaat
salam ukuhwah dariku