Ibnu Mehmoud El Aswadi
Perempuan Yang Menggetarkan Sejarah Islam
Pada
suatu malam, seorang perempuan keluar rumah dengan membawa obor yang
menyala-nyala di tangan kanannya dan seember air di tangan kirinya. Ia
pergi mengelilingi kampung dengan berteriak sangat keras, “Wahai
manusia, seandainya engkau beribadah kepada Allah dan mengharapkan
surga. Maka, biarkan surga itu kubakar dengan api ini ! Dan, apabila
engkau menjauhi maksiat oleh sebab takut akan neraka. Maka, biarkan
neraka itu kusiram dengan seember air yang ada di tangan kiriku…..!”
Siapakah
perempuan yang berani mengusik kesadaran orang-orang di sekitarnya, dan
mungkin juga kita? Siapa lagi kalau bukan Rabi’ah al-Adawiyah. Ya,
Rabi’ah al-Adawiyah. Perempuan suci yang sepanjang hayatnya mengajarkan
cara beribadah kepada Allah dengan motif cinta yang tulus kepadaNya. Ia
adalah sufi yang membawa corak baru dalam penghayatan Islam melalui
ajaran cinta. Seluruh ajaran Islam dilaksanakan bukan sebab, “Ini semua
karena perintahNya dan harus dilaksanakan bukan untuk mengharap
surgaNya”, bukan pula karena, “Itu ahrus dijauhi karena takut akan
siksaNya.” Namun, ia melaksanakan perintah dan menjauhi semua
laranganNya sebab cinta yang sebenar-benarnya cinta (al-hubb haqq
al-hubb).
Bukankah
seorang pecinta akan berhias rapih dan wangi dalam shalatnya, melebihi
saat pertemuan dengan orang yang paling dicintainya sekalipun? Bahkan,
kerap kali ia menangis dalam shalatnya. Kucuran air mata pecinta ini
adalah bentuk ungkapan lerinduan, kecintaan, dan kebahagiaan kala
“berjumpa” denganNya.
Dengarkan, kata-kata Rabi’ah yang terbentuk dalam alunan puisinya :
Ya Tuhanku!
Tenggelamkan aku dalam kecintaanMu
Sehingga tiada suatupun yang dapat memalingkan aku dariMu
Kekasihku tiada menyamai kekasih lain biar bagaimanapun
Tiada selain Dia dalam hatiku mempunyai tempat manapun
Kekasihku ghaib daripada penglihatanku dan pribadiku sekalipun
Akan tetapi, Dia tidak pernah ghaib di dalam hatiku walau sedikitpun.
Aku mencintaiMu…
Oh, Tuhan tercinta…
Dengan cinta penuh kesenangan
Karena Engkaulah yang penuh kesenangan
Maka aku sibuk mengingatMu daripada yang lain
Kuharap Kau buka tabir untukku
Hingga aku dapat memandangMu
Maka ujian yang ini dan itu bukan untukku
Melainkan hanya untukMu.
Bagi
Rabi’ah, bukan cinta apabila penghambaan manusia ada pamrihnya. Dan
bukan pula cinta, apabila ibadah manusia memiliki motif-motif duniawi,
sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits dari Abu
Hurairah ra yang menceritakan bahwa ada orang-orang berkelompok bertanya
kepadanya, “Wahai Tuan, ceritakan kepadaku sebuah hadits yang engkau
dengar langsung dari Rasulullah!”. “Saya mendengar Rasulullah SAW
bersabda, ‘Sesungguhnya, orang yang pertama kali diadili pada hari
kiamat adalah orang yang mati syahid. Ia didatangkan dan ditanyakan akan
nikmat-nikmatnya, lalu ia mengakuinya. Allah SWT berfirman kepadanya,
‘Apakah yang kamu amalkan di dunia ini?’ Ia menjawab, ‘Saya berperang
hingga mati syahid.’ Allah menjawab, ‘Kamu berdusta, tetapi kamu
berperang supaya orang-orang berkata bahwa engkau pemberani dan itu
telah dikatakannya.’ Lalu. Allah SWT memerintahkan agar wajahnya
ditarik, kemudian dilemparkan ke dalam api neraka.
Berikutnya
adalah orang yang mempelajari ilmu, mengajarkannya, dan suka membaca
al-Qur’an didatangkan kepadaNya. Nikmat-nikmatnya ditanyakan dan ia
mengakuinya. Allah berkata, ‘Apakah yang kamu kerjakan di dunia ini?’ Ia
menjawab, ‘Saya mepelajari ilmu dan suka membaca al-Qur’an karenaMu.’
Allah SWT berfirman, ‘Kamu berdusta karena kam mempelajari ilmu supaya
orang-orang mengatakan bahwa kamu pandai dan ahli dalam bidang al-Qur’an
dan semua tu telah iucpkan oleh mereka.’ Allah pun memerintahkan agar
ia dicampakkan ke dalam api neraka.
Selanjutnya,
orang yang diberikan kelapangan oleh Allah dan diberi berbagai macam
harta akan didatangkan dan ditanyakan atas nikmat-nikmatnya, dan ia
mengakuinya. Allah SWT berfirman, ‘APakah yang kamu kerjakan di dunia?’
Ia menjawab, ‘Saya tidak meninggalkan jalan yang Engkau senangi untuk
menginfaqkan harta, melainkan saya menginfaqkannya karenaMu.’ Allah
menjawab, ‘Kamu berdusta, tetapi kamu mengerjakannya supaya kamu
dikatakan sebagai orang dermawan dan itu telah dikatakannya.’ Allah lalu
memerintahkan agar wajahnya ditarik dan dilemparkan ke dalam api
neraka.” (HR. Muslim).
Na’udzubillah
min dzalik! Itulah nasib manusia yang beribadah beradsarkan motif
duniawi, dan ironisnya itu sering menjangkiti kita! Kini, masihkah kita
tidak tahu manakala beribadah karena motif dunia, maka yang rugi – baik
waktu, materi, maupun tenaga – adalah diri kita? Andai kata kita
berhaji, haji kita hanyalah menghambur-hamburkan uang dan mustahil dapat
diterima. Kalau kita bershadaqah, berzakat, berinfaq, maka akan
sia-sia, yang ada harta kita berkurang. Tetapi, inilah yang sering kita
lakukan.
Sesungguhnya,
apabila kita mau menghayati perintah-perintah agama dan
aturan-aturannya, maka kita akan mendapati bahwa dia sebenarnya indah.
Keindahan agama itu tentu mustahil didapatkan apabila kita masih saja
beribadah kepada Allah karena terpaksa atau memiliki motif-motif duniawi
yang rendah, bukan karena kita mencintaiNya.
Setiap
ajaran agama yang diperintah Allah tidak lain hanya bertujuan untuk
menguji seberapa cinta kita kepadaNya. Apakah kita melakukan amal shalih
karena cinta kepadaNya ataukah sebab terpaksa? Tuhan bisa diibaratkan
majikan, bos, atau pimpinan, maka manakala kita melakukan tugas yang
diberikannya itu karena terpaksa, takut akan hukumannya, atau
mengharapkan gaji lebih tinggi darinya, itu berarti kalau tidak ada
sanksi atau hukuman dan tidak diberikan honor yang tinggi, kerja kita
akan meksimal. Dia tentu bukan pekerja yang baik, karena bekerja ada
pamrihnya.
Lalu,
apakah beribadah untuk mengharapkan pahala dan takut akan siksaNya itu
tidak diperbolehkan? Boleh! Tuhan itu tidak seperti bos Anda yang kalau
Anda sudah bekerja keras pun, honornya sering kali tidak dinaikkan,
bahkan tak jarang malah dipotong, Tuhan tidak juga seperti majikan Anda
yang kalau Anda telah disiplin dan tertib dalam bekerja, gaji Anda pun
masih sering telat diberikan.
Tidak
mengapa beribadah mengharapkan surga dan takut akan neraka sebagai
motivasi dalam melakukan amal shalih. Secara fiqh (hukum Islam) tidak
ada masalah, ini hanya wilayah tingkatan (maqam) spiritual saja dalam
beribadah.
Sayyidina
Ali bin Abi Thalib mengungkapkan, “Apabila hamba beribadah kepada
Allah, dan ia ingin mendapatkan imbalan serta menjauhi maksiat sebab
takut akan mendapatkan siksa, itu tidak lain cara ibadahnya kaum
pedagang. Sebab, ia masih memperhitungkan untung dan ruginya. Apabila
hamba beribadah kepada Allah karena takut akan siksaNya, maka itu tidak
lain adalah cara ibadahnya para budak. Dan, ada sekelompok kecil hamba
yang beribadah karena cinta suci kepadaNya, itulah ibadahnya mukmin
sejati.”
Tipe
pertama dan kedua yang digambarkan Sayyidina Ali itulah yang sering
kita lakukan. Karena itu, sangat wajarlah apabila Rabi’ah mengusik
kesadaran motif beribadah kita hingga kini. Rabi’ah pada dasarnya
mengajak kita supaya beribadah tidak karena pamrih demi meraih surga dan
menghindar dari neraka, apalagi yang sangat menjijikkan, yakni
beribadah dengan tujuan utnuk kelezatan dunia, ingin disebut dermawan,
orang shalih, ingin mendapatkan jabatan tertentu, mendapat dukungan
politik tertentu, dan lain-lain.
“Madzhab
cinta” ini telah banyak memberikan inspirasi bagi tokoh-tokoh sufi
kenamaan yang hidup sesudahnya, misalnya Farid ad-Din al-Athar, Ibnu
al-Farid, al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, dan sebagainya. Muhammad Iqbal,
seorang filsuf dari Pakistan, juga mengikuti jejak tokoh ini, ia
menggunakan maqam cinta sebagai komponen untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT.
Wallahu A'lam,