Type Here to Get Search Results !

"TETAPLAH BERSATU SAUDARA SAUDARIKU !!

0
Oleh Von Edison Alouisci



At-Tabari menyatakan; “…..dan janganlah memisahkan diri dari agama (Dien) Allah dan seruanNya yang tercantum dalam Kitab-Nya: bahwa kamu harus bersama-sama dalam menaati perintah-Nya dan Nabi-Nya saw.”

Ibnu Katsir berkata: “Dia (Allah) memerintahkan mereka (umatnya) untuk tetap berada dalam Jama’ah dan jagan memisahkan diri”



Al-Qurtubi berkata: “ Jangan terpecah-belah sebagaimana kaum Yahudi dan kaum Nasrani dalam agama (Dien) mereka…. dan itu bisa berarti jangan berpisah hanya berdasarkan nafsu-nafsu/keinginan- keinginanmu, dan hanya berdasarkan minat/kepentingan-kepentinganmu.”



Oleh karena itu,

perbedaan yang tidak diperbolehkan bagi umat adalah perbedaan dalam inti/pondasi dalam Dien (misal: rukun Iman, rukun Islam, peraturan yang jelas termaktub dalam al-Qur’an,-pent-) mereka, dan bukan dari cabang-cabangnya.

Hal ini berdasarkan atas beberapa sebab:



a) Sunnah dari Rasulullah saw yang memperbolehkan perbedaan pendapat dalam pelaksanaan, cabang (Furu’).



b) Perbedaan pendapat yang terjadi diantara para sahabat ketika berada dalam masalah Furu’, bukan didalam Usul (fondasi dari Dien). Tidak ada hukuman/teguran yang dibuat tentang perbedaan pendapat semacam itu.



c) Kaum Tabi’ien dan generasi selanjutnya yang mengikuti mereka, serta para ulama-ulama salaf (pendahulunya) menerima perbedaan pendapat dalam Furu’ tetapi tidak jika sudah menyangkut Usuluddien (pondasi agama/Dien).



Sebagai contoh, Ash-Shafi’i ra menyatakan dalam bukunya Ar-Risalah; “Perbedaan pendapat terbagi menjadi dua: Yang satunya haram dan yang lainnya tidak. Segala sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah dan telah nyata terbukti (Hujjah) di dalam Kitab-Nya atau dengan jelas dinyatakan oleh Rasulullah saw adalah haram untuk tidak diakui (ingkari) oleh orang yang telah mengetahui hal tersebut (isi ketentuan tersebut –pent-). Sedangkan bagian lain yang bisa diartikan/mempunyai makna yang berbeda atau dengan analogi (kiasan), karena teks (AlQur’an dan sunnah) tersebut bisa dikatakan masih sederhana/masih merupakan dasar….. masih ada ruang untuk perbedaan pendapat/pelaksanaannya, tidak seperti teks yang jelas/terang maknanya.



Ibnu Taymiyah ra dalam bukunya al-Fatawa al-Kubra, vol.20, hal.256 menyatakan; “Kemudian, teks-teks tersebut (sunnah) terbagi atas: Yang pasti/jelas dalam dalalah (arti)nya. Kepastiannya ditentukan oleh perawi-perawinya (Sanad) dan juga isinya (Mata), jika kita sudah pasti bahwa Rasulullah saw menyatakannya dan maknanya sama dengan yang dinyatakannya.Yang lain adalah yang tidak pasti/jelas dalalah (makna/arti)nya.



Sebagaimana yang pertama, teks tersebut harus dipercayai dan dilaksanakan menurut pendapatnya masing-masing. Hal ini disepakati oleh ulama pada umumnya. Yang mungkin jadi perbedaan pendapat dari para ulama, dibeberapa berita (hadits) apakah para perawinya jelas/pasti (Qat’i) atau tidak. Sebagai contoh sebagaimana perbedaan pendapat tentang apakah kabar/hadits yang di bawa oleh hanya seorang (Khabarul Wahid/kabar ahad) hanya bisa diyakini (diimani) oleh umat, atau salah satu hadits yang bisa disetujui umat untuk dilaksanakan.”



Jadi, permasalahan tentang hadits yang didiskusikan (hadits diatas tentang pembagian firqah/golongan) tersebut bukanlah tentang perbedaan-perbedaan yang timbul dari interpretasi/penafsiran dari teks-teks (al-Qur’an dan hadits yg dalalahnya tidak terang) tersebut, yang interpretasinya sangat mempengaruhi dalam menentukan arti/makna teks tersebut. Tetapi mengutuk firqah-firqah (golongan-golongan) yang berbeda dalam pondasi Dien-nya.



Yang pasti, para sahabat seringkali berbeda pendapat pada banyak hal, yang terkait kepada masalah-masalah cabang (misal: cara pelaksanaan shalat, hukum tata negara, dan lain-lain) dari Dien, tetapi mereka tetap sepakat dan mempunyai hanya satu pendapat jika masalahnya adalah masalah pondasi dari Dien/agama. Kemudian, Mujtahid-mujtahid besar dalam Islam pun mempunyai perbedaan pendapat di berbagai aspek agama Islam, tetapi sekali lagi masalah yang menjadi dasar perbedaan tersebut adalah dalam cabang-cabang.



Jadi ‘firqah’ yang dihukum dan masuk ke dalam api neraka, bukanlah grup/golongan yang mempunyai perbedaan-perbedaan yang sah dan diperbolehkan. Oleh karena itu, mereka-mereka yang mengikuti mazhab-mazhab tertentu seperti Shafi’i, Hanafi, Hambali, Maliki, bahkan mereka yang mengikuti faham ulama-ulama pemikir dari Shi’ah seperti Ja’fari atau Zaidi, tidaklah bisa diberi label ‘kafir’atau ‘sesat’ (Apalagi hanya sekedar perbedaan ‘kecil’ seperti beda grup dan harakah).



Sebaliknya, golongan-golongan/firqah yang disebutkan didalam hadits tersebut adalah mereka yang telah meninggalkan lingkup Islam seperti Qadiani (Ahmadiyah) yang mengklaim kenabian sesudah nabi Muhammad saw, atau mereka-mereka yang termasuk kedalam kelompok Alawi, yang mengklaim bahwa Ali ra merupakan inkarnasi/titisan Tuhan (semoga Allah melindungi kita dari kesesatan tersebut) atau mereka yang mengingkari adanya hukuman di akhirat, dan lain-lain. Kelompok apapun yang kepercayaannya berlawanan dengan ayat-ayat AlQur’an yang terang/jelas, berarti telah jatuh dan keluar dari lingkaran Islam.



Salah seorang ulama dari mazhab Hanafi, Ibnu Abidin menyatakan; “Tidak ada keraguan terhadap kesesatan (kekafiran) mereka yang menyatakan tuduhan palsu bahwa Sayyida Aisyah ra telah berzina, menolak persahabatan Sayyidina Abu Bakar ra, mempercayai bahwa Sayyidina Ali ra adalah Tuhan atau bahwa malaikat Jibril telah salah menurunkan wahyu kepada Rasulullah saw, dan lain-lain, yang telah jelas kafir dan berlawanan dengan ajaran Qur’an.” (Radd al-Muhtar, 4/453).

Ibnu Abidin meneruskan; “ adalah sulit untuk membuat pernyataan secara umum bahwa Shi’ah telah sesat, karena para ulama memperbolehkan adanya perbedaan dan penyeberangan (perpindahan) dari golongan-golongan yang berbeda.”

Bahkan ulama Shi’ah, Allama Muhammad Hussein Tabatabai, menulis didalam penafsirannya yang sangat terkenal, Tafsir-ul-Mizan, edisi ke 12, halaman 109, yang diterbitkan di Iran, tentang kesempurnaan al-Qur’an: “al-Qur’an, yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw, dilindungi dari perubahan apapun.”



Sayangnya, ketidak fahaman dan kefanatikan dari beberapa grup-grup tertentu telah menyebabkan mereka menilai grup yang lain takfir atau khawarij, seperti yang telah di lakukan oleh Yahudi dan Nasrani. Ini adalah cara berfikir yang hanya menghargai pendapat mereka sendiri, dan pandangan mereka terhadap masalah apapun yang menyangkut Dien (agama Islam) sebagai ‘tidak perlu dipertanyakan lagi kebenarannya’. Dan kepercayaan atau pendapat yang lain yang berlawanan atau mempunyai perbedaan walau sedikit dari pendapat mereka adalah tidak layak, tidak masuk akal atau sesat.



Umat Muslim adalah satu. al-Qur’an bisa didapat disetiap mesjid, diseluruh penjuru dunia, apakah letaknya di Karachi, Teheran, Kairo, Madinah, atau Algeria adalah satu. Allah SWT berfirman:



Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku. (QS. Al-Anbiya: 92)



Bagaimanapun seorang muslim merupakan saudara dari muslim yang lain, apakah dia itu Shiah, Sunni atau siapapun ahli (ulama) yang ia tiru atau Mujtahid yang mana yang ia ikuti ajarannya. Hal inilah yang telah di ajarkan Rasulullah saw kepada kita;



“Seorang muslim merupakan saudara dari muslim yang lain, dia tidak menindas(saudara)nya dan dia juga tidak menyerahkannya kepada musuh, dia tidak mengecewakannya, dan juga tidak memepermalukannya.”





Allah SWT berfirman:

…..Dialah (Allah) yang telah menamai kamu sebagai orang-orang muslim…. (QS Al-Hajj: 78)

Apapun perbedaan pendapat yang muncul, adalah sesuatu hal yang bisa kita serahkan kembali kepada ayat suci;

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa: 59)



Jadi, jelaslah bagi mereka yang telah mengamati dan menyadari, bahwa kaum kuffar (kafir) telah bergabung bersama melawan kita umat Islam dan menjebak kita semua kedalam suatu kurungan (jebakan) besar dan tidak akan membiarkan satu haripun lewat tanpa menumpahkan darah beberapa orang muslim. Walaupun faktanya orang-orang kafir tersebut terpecah-pecah agamanya sesuai dengan keinginan dan nafsunya masing-masing, tetapi mereka bersatu dalam perang melawan Islam, dan berlomba-lomba melawan rasa permusuhan mereka (dalam mewujudkan hal tersebut).



Jadi tidak inginkah kita bersatu bersama untuk melawan mereka, dalam ikatan Islam, bukannya secara dibuat-buat dan dicari-cari memisahkan diri masing-masing kedalam label ‘Sunni’ atau ‘Shiah’, ataupun berbagai mazhab-mazhab dan kelompok-kelompok yang lain?



Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu (keharusan persaudaraan dan kesatuan yang teguh antara kaum muslimin), niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar. (QS. Al-Anfal: 73)





TETAPLAH PADA JALAN ALLAH DIMANA KALAM ALLAH DAN SUNNAH SAHIH RASULULLAH SEBAGAI TOLAK UKUR.HATI HATILAH DGN LISAN DAN SAMPAIKANLAH DGN PEMAHAMAN KEDUANYA AGAR TIDAK SEKEDAR ASAL BERKATA.ITULAH PERLUNYA ILMU UNTUK MEMANDU APA YG KITA PERBUAT.SESUNGGUNHNYA KATA KATA YG TAK BERDASARKAN ILMU SAMA SEPERTI ORG YG SAKIT DAN BESAR KEMUNGKINAN MENGADA ADA DAN MENYIMPANG DARI KETENTUAN ALLAH.DAN HATI HATILAH AKAN BAHAYA ILMU YAKNI KESOMBONGAN DAN RIYA`.



Pages



http://www.facebook.com/von.edison.alouisci

Posting Komentar

0 Komentar

Top Post Ad

Below Post Ad