Type Here to Get Search Results !

'TAKWA LEBIH DI WASIATKAN DARI PADA HARTA

0
Taqwa adalah wasiat Allah kepada umat terdahulu dan umat kemudian. Firman Allah SWT :



Maksudnya: "Sesungguhnya Kami telah berwasiat (me­merintahkan) kepada orang-orang yang diberi kitab se­belum kamu dan juga kepada kamu, bertaqwalah kepada Allah." (An Nisa: 131)



Taqwa juga adalah wasiat Rasulullah SAW kepada umatnya. Baginda bersabda:



Maksudnya: ”Aku berwasiat kepada Engkau semua supaya bertaqwa kepada Allah, serta dengar dan patuh kepada pemimpin walaupun dia seorang hamba Habsyi. Sesungguhnya sesiapa yang hidup selepas aku kelak, dia akan melihat pelbagai perselisihan. Maka hendaklah kamu berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk selepasku." ( Riwayat Ahmad, Abu Daud, Termizi dan Majah )



Sabda Baginda lagi:



Maksudnya: "Hendaklah kamu bertaqwa di mana saja kamu berada. Ikutilah setiap kejahatan (yang kamu lakukan) dengan kebaikan, moga-moga kebaikan itu akan menghapuskan kejahatan. Bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik."(Riwayat At Termizi dan Ahmad)



Sabda Baginda:



Maksudnya: "Bertagwalah terhadap perkara-perkara yang diharamkan, nescaya kamu akan menjadi manusia yang paling kuat ibadah; redhakanlah dengan apa yang diberi oleh Allah kepadamu, nescaya kamu akan menjadi manusia yang paling kaya; buatlah kebaikan kepada jiran kamu, nescaya kamu akan dapat keamanan, kasihilah manusia sebagaimana kamu mengasihi diri kamu sendiri, nescaya kamu akan selamat; jangan banyakkan ketawa karena memperbanyakkan ketawa itu mematikan hati­-hati." (Riwayat At Termizi, Ibnu Majah dan Ahmad)



Sabda Baginda lagi:



Maksudnya: "Bertaqwalah kamu kepada Allah, tunai­kanlah sembahyang lima waktu, berpuasalah pada bulan Ramadhan, keluarkanlah zakat harta kamu, patuhi orang yang menjaga hal ihwal kamu, nescaya kamu akan masuk Syurga Tuhan kamu." (Riwayat At Termizi, Ahmad dan Hakim)



Taqwa adalah wasiat para salafussoleh. Sayidina Abu Bakar As Siddiq r.a. pernah berkhutbah:



"... maka sesungguhnya aku berpesan kepada kamu semua supaya bertaqwa kepada Allah, supaya kamu sen­tiasa memuji Allah dengan pujian yang patut kamu me­muji-Nya dan kamu campurkan harap dan cemas serta kamu gabungkan bersungguh-sungguh meminta dengan permohonan."



Sayidina Umar Al Khattab r.a. pernah menulis surat kepada anaknya Abdullah yang berbunyi :



” Amma badu, sesungguhnya aku berpesan kepada engkau supaya kamu bertaqwa kepada Allah. Sesungguh­nya siapa yang bertaqwa kepada-Nya, nescaya Dia akan memeliharanya. Sesiapa yang memberi pinjaman kepada Allah (menafkahkan hartanya), nescaya Dia akan memba­lasnya. Sesiapa yang mensyukuri nikmat-Nya, nescaya Dia akan menambahkannya lagi. Jadikanlah taqwa tertegak di kedua matamu dan memenangi hatimu."



Umar.bin Abdul Aziz r.a. pernah menulis sepucuk surat kepada seorang lelaki. Surat itu berbunyi :



”Aku berwasiat kepadamu supaya bertaqwa kepada Allah Azza wa Jalla yang mana Dia tidak akan menerima selainnya (taqwa) dan Dia tidak menurunkan rahmat melainkan kepada orang yang bertaqwa dan Dia tidak akan memberi pahala melainkan ke atas taqwa."



Begitu juga, taqwa adalah wasiat sekalian para rasul a.s. seperti yang diceritakan dalam Al Qur’anul Karim :



Maksudnya: "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firman-Nya). Datangilah kaum yang zalim itu (iaitu) kaum Firaun: Mengapa mereka tidak bertaqwa?" (As Syu'ara:10-11)



Maksudnya: "Kaum Nabi Nuh telah mendustakan para Rasul. Ketika saudara mereka, Nuh berkata kepada mereka: Mengapa kamu tidak bertaqwa?" (As Syuara: 105-106)



Maksudnya: "Kaum Aad telah mendustakan para rasul. Ketika saudara mereka, Hud berkata kepada mereka: Mengapa kamu tidak bertaqwa?" (As Syuara: 123-124)



Maksudnya: "Kaum Tsamud telah mendustakan para rasul. Ketika saudara mereka, Saleh berkata kepada mere­ka: Mengapa kamu tidak bertaqwa?" (As Syu'ara:141-142)



Maksudnya: "Kaum Lut telah mendustakan para rasul. Ketika saudara mereka, Lut berkata kepada mereka: Menga­pa kamu tidak bertaqwa?" (As Syu'ara:160-161)



Maksudnya: "Penduduk Aikah telah mendustakan para rasul. Ketika Syuaib berkata kepada mereka: Mengapa kamu tidak bertaqwa?" (As Syu'ara:176-177)



Demikianlah pentingnya taqwa dalam kehidupan manusia. Para rasul diutus untuk menyampaikannya kepada umat manusia didunia ini. Orang yang tidak bertaqwa dikatakan zalim dan mendustakan para rasul. Ia menjadi sebab kaum Nabi Nuh, kaum Aad, kaum Tsamud dan kaum Nabi Lut dihancurkan dan dimusnahkan oleh Allah SWT.

TAQWA ADALAH KEMULIAAN



Allah sangat memerintahkan kita supaya menjadi orang-orang yang bertaqwa sehingga untuk itu Allah membuat bermacam-­macam janji muluk untuk siapapun yang bertaqwa. Taqwa adalah sumber bagi segala kekayaan. Memiliki taqwa artinya memiliki segala-galanya, yakni segala kesenangan lahiriah dan batiniah.



Orang bertaqwa, dengan jabatan tinggi yang disandang, dia tidak sombong. Dengan kekayaan yang dimiliki, dia tidak bakhil. Dengan ilmu yang tinggi, dia tidak berlagak dan takabur. Kalau dia miskin, dia akan redha dan tidak hasad dengki.



Alangkah hebat dan bijaknya orang yang memburu taqwa. Karena taqwa mengatasi nilai pangkat, gelar, gaji besar, banyak harta dan lain-lain lagi. Taqwa adalah satu darjat tertinggi di sisi Allah. Kalau manusia memperolehinya, jadilah dia semulia-­mulia dan seagung-agung manusia. Allah berfirman :



Maksudnya: "Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah kamu yang paling bertaqwa." (Al Hujurat: 13)



Cara hidup orang bertaqwa berbeda sekali dengan cara hidup orang yang tidak bertaqwa. Bedanya bagaikan langit dan bumi. Baik itu cara hidup dalam rumah tangga, dalam jemaah, dalam negeri atau dalam negara. Bagi orang-orang yang ber­taqwa, banyak perkara yang pelik atau keramat atau maunah yang berlaku. Kalau ada masyarakat dan pemimpin dalam satu negara yang bertaqwa, maka Allah akan datangkan pertolongan ghaib yang luar biasa. Hingga jadilah negara itu seperti yang Allah SWT firmankan:



Maksudnya: "Negara yang aman, makmur dan menda­pat keampunan Allah." (Saba'.15)

BILA UMAT TIDAK BERTAQWA



Bila umat tidak bertaqwa, mereka melupakan Tuhan. Mereka menganggap Tuhan tidak ada peranan dalam hidup mereka. Dalam masalah hidup mereka, mereka tidak rujuk kepada Tuhan.



Rasulullah SAW ada bersabda: "Setelah aku wafat, setelah lama aku tinggalkan, umat Islam akan lemah. Di atas kele­mahan itu, orang kafir akan menindas mereka bagai orang yang makan dengan rakus."

Ada Sahabatbertanya, ”Apakah ketika itu umat lslam lemah sehingga musuh begitu kuat?"

Sabda Rasulullah, "Bahkan waktu itu mereka lebih banyak tetapi tidak berguna, tidak berarti dan tidak menakutkan musuh. Mereka ibarat buih di laut."

Sahabat bertanya lagi, "Mengapa sebanyak itu tetapi seperti buih di laut?"Jawab Rasulullah, "Karena ada dua penyakit iaitu mereka ditimpa penyakit AlWahan."

Sahabat bertanya pula, `Apakah itu Al Wahan?" Rasulullah bersabda, "Cinta dunia dan takut mati."



Oleh karena umat Islam cinta dunia maka Allah hukum sedikit demi sedikit. Allah tarik rasa cinta pada Allah. Apabila sudah tidak cinta pada Allah, maka terkikislah cinta terhadap yang lain. Hilang cinta sesama umat Islam. Hilang cinta sesama keluarga. Hilang cinta antara suami isteri. Hilang cinta antara ayah, ibu dan anak. Karena cinta itu semua bersumber dari cintakan Allah. Cintakan Allah-lah yang menghidupkan cinta-­cinta seperti itu. Bila cinta kepada Allah berpindah kepada cinta dunia, maka cinta-cinta seperti itu akan hilang. Oleh itu, hilang­lah perpaduan dan kasih sayang.



Umat Islam takut mati. Takut mati ini ialah takut mati karena Allah. Umat Islam masih berani mati karena dunia, karena perempuan, karena glamour, karena nama atau karena negara. Maka Allah cabut rasa takut dengan Allah dari hati-hati umat Islam dan Allah ganti dengan bermacam-macam rasa takut yang lain. Takut tidak makan, takut miskin, takut hilang kerja, takut hilang jabatan, takut isteri, takut tidak ada masa depan, dan sebagainya.



Akibatnya umat Islam hilang wibawa, hilang kekuatan, ber­pecah-belah dan lemah. Umat Islam mundur di mana-mana, kalah dan terhina di mana-mana. Masalah inilah yang memeningkan para ulama dan pemimpin. Masing-masing tidak tahu kenapa umat Islam lemah dan terhina dan tidak tahu bagaimana untuk menjadikan umat Islam ini kuat. Oleh itu mereka hanya mencoba dan mengagak-agak. Buat cara trial and error. Walhal semuanya telah diterangkan dengan jelas melalui Hadis Rasulullah SAW



Semua orang menganggap bahkan mereka yakin bahwa dunia ini dan manusia ini tidak akan selamat dan tidak akan bahagia kalau uang tidak cukup atau ilmu tidak tinggi atau jabatan tidak ada atau pangkat tidak tinggi atau pembangunan dan kemodernan tidak tercapai. Tegasnya kalau kita tidak tiru apa yang dibuat oleh Barat atau kita tidak jadi seperti Barat, kita tidak akan selamat dan kita tidak akan bahagia. Maka berlomba-lombalah kita mengejar Barat. Seluruh jentera ke­modernan dan pembangunan dikerahkan ke arah tujuan itu. Semua menjadi yakin kalau kita jadi Barat, akan bahagialah dan akan gampang hidup kita.



Hingga hari ini, sedikit sebanyak kita sudah membangun seperti yang kita kehendaki. Negara kita sudah agak bagus, berkat meniru pembangunan Yahudi dan Nasrani. Ekonomi kita pun seakan-akan sudah pulih, walau belum ada seorang pun umat Islam yang telah berjaya membangunkan supermarket atau megamarket di mana-mana shopping centre di negara kita. Walaupun masih banyak gerai-gerai orang Melayu di tepi-tepi jalan, ianya tidak kekal dan pendek umur. Walaupun ikan-ikan tangkapan orang Melayu banyak, ia masih menjadi sumber kekayaan orang tengah dan kaum kapitalis yang terus-menerus menghisap darah para nelayan. Dari segi ilmu, bisalah dibang­gakan memandang jumlah universitas yang kian bertambah dan orang Melayu yang bergelar bertambah banyak.



Namun para ilmuwan itu tetap tidak bisa hidup kalau tidak diberi gaji. yang tidak diberi kerja jadi beban pula pada negara. Mereka tetap tidak mampu berdikari untuk membina perusahaan, pembangunan dan perindustrian sendiri yang bebas dari makan gaji. Di samping itu, akhlak para lulusan tinggi tetap tidak jauh bedanya dengan akhlak orang yang berkelulusan rendah. Sikap mereka sama saja bahkan ada yang lebih buruk lagi. Soalnya, hingga di tahap ini, adakah kita sudah mendapat masyarakat bahagia yang hidup penuh aman damai seperti yang kita idamkan?



Memandangkan pada gejala dan penyakit masyarakat yang bertimpa-timpa dan kian kronik dan masalah yang tidak habis-­habis, tentu kita belum bisa mengatakan masyarakat kita sudah bahagia. Memang mungkin ada individu-individu atau keluarga-keluarga yang bahagia, tetapi ini bukan majoriti. Ini tidak bisa mencorak masyarakat. Secara umumnya orang­-orang yang ada kuasa tidak bahagia karena dilanda penyakit gila kuasa. Orang kaya pula tidak bahagia karena penyakit gila dunia. Orang miskin tidak bahagia karena sering rindu pada kekayaan dan harta. Ulama-ulama tidak bahagia karena takut periuk nasi terancam. Ibu bapa hilang bahagia karena anak durhaka. Guru tidak bahagia dengan perangai anak muridnya. Pemudi-pemudi tidak bahagia karena sering diganggu dan takut jadi andartu. Pemuda hilang bahagia karena sulit ingin kahwin dan bermacam-macam lagi penyakit yang sedang meragut kebahagiaan hidup semua golongan dalam masyarakat kita.



Dalam keadaan ini apakah peranan pembangunan, ke­modernan, ekonomi, jabatan dan ilmu yang tinggi yang diagung­-agungkan tadi? Mampukah ia menyelesaikan segala masalah ini? Lihat di Barat! Kemodernan hidup telah menghantar manu­sia ke kancah kehidupan yang derita, sengsara dan bergelora. Keinsanan dan kemanusiaan rusak. Manusia sudah hilang moral, keperibadian dan tata susila. Kasih sayang tidak ada dan kejahatan berleluasa.



Sebagai contoh, sudah banyak orang Barat yang lebih rela hidup berdua dengan anjing atau bertemankan kucing atau itik atau ayam daripada hidup dengan manusia lain. Kebahagiaan dengan sesama manusia sudah tidak ada. Kalau begitu, apalah arti segala pembangunan dan kemodernan yang dikejar itu?



KEBAHAGIAAN YANG SEBENARNYA



Kebahagiaan sebenarnya bukan terletak pada mata, tangan, kaki atau anggota-anggota lahir. Rasa bahagia itu tempatnya di hati. Kalau hati senang, dalam miskin pun bisa rasa bahagia. Se­baliknya kalau hati rusak binasa maka ilmu tinggi mana pun, kaya raya macam mana pun dan sebesar mana pun pangkat, tetap tidak akan hidup bahagia.



Itu bukti yang cukup jelas yang memang sudah menjadi pengalaman hidup semua orang. Karena itu, untuk mencapai kebahagiaan hidup untuk individu maupun untuk masyarakat, apa yang mesti diutamakan ialah mendidik individu-individu manusia dengan iman dan taqwa. Bukan dengan uang, pangkat, ilmu tinggi, kemewahan, pembangunan, kemajuan dan kemodernan.



Iman dan taqwa bisa membuatkan orang miskin terhibur dengan kemiskinannya. Iman dan taqwa bisa membuatkan orang kaya pemurah dengan hartanya dan rasa terhibur kalau dapat menyumbang kepada masyarakat dan menderma kepada fakir miskin. Iman dan taqwa bisa membuatkan orang-orang yang berkuasa rendah hati dengan rakyatnya serta terhibur kalau dapat berkhidmat pada rakyat.



Iman dan taqwa membuatkan anak-anak terhibur untuk taat kepada ibu bapa, isteri suka dan terhibur untuk taat kepada suami, pengikut terhibur mentaati para pemimpin, anak murid terhibur untuk hormat dan kasih kepada guru, si gadis jadi malu serta terhibur tinggal di rumah dan pemuda terhibur untuk memikul tanggung jawab dan menyumbangkan tenaga.



Bila manusia sudah berada dalam keadaan seperti ini, barulah uang banyak akan membawa bahagia. Barulah pangkat tinggi berguna dan segala kemodernan, kemajuan dan pem­bangunan akan menjadi sumber keselesaan hidup yang ber­makna.

PERANAN NAFSU



Hari ini semua perkara yang disebutkan di atas belum berlaku. Karena hanya memikirkan supaya negara maju, maka yang terus maju ialah negara bukan rakyatnya. Yang membangun ialah negara bukan orangnya. Masyarakat manusianya dibiarkan bermain dan berlalai dengan nafsu. Hati mereka tidak dihiasi dengan iman dan taqwa. Maka nafsulah yang menjadi raja dan yang menjadi Tuhan. Nafsulah yang mengatur kehidupan. Kehendak nafsulah yang diturutkan. Sebab itu masyarakat menjadi huru-hara dan kacau-balau.



Negara dibangunkan, dimajukan dan dimodernkan. Ilmu dicari, ekonomi dibina, jabatan dikejar. Dalam waktu yang sama, kehendak nafsu diikuti dan dituruti. Nafsu dilayan semaunya. Akhirnya nafsu menjadi subur. Bila nafsu subur maka ia berputik. Putik itu menjadi bunga. Bunga nafsu menjadi buah. Apakah buah nafsu? Buah nafsu ialah mazmumah. Buah nafsu ialah sombong, hasad, dengki, bakhil, pemarah, pendendam, panas baran, ujub, sum'ah, riyak, gila dunia, gila puji dan macam-macam lagi.



Nafsu sangat mendorong kepada kejahatan. Nafsu suka pada apa yang Tuhan larang dan benci pada apa yang Tuhan suruh. Nafsu benci kepada sembahyang, puasa, zakat, menolong orang dan bersedekah. Nafsu suka kepada berfoya-foya, membazir harta dan uang, arak, judi, zina dan lain-lainnya. Bila nafsu berperanan, sulit ingin taat dengan Tuhan.



Sulit ingin tegakkan suruhan dan syariat Tuhan. Nafsulah penghalang utama kepada iman dan taqwa.



Buah-buah nafsu pula iaitu segala sifat-sifat mazmumah yang bersarang di hati, merusakkan hubungan sesama manusia. Sifat-sifat mazmumah seperti sombong, hasad, dengki, bakhil, pemarah, panas baran itulah yang menyebabkan berlakunya berbagai kejahatan dan menjadi sumber manusia bergaduh, berkelahi, berkrisis dan akhirnya membunuh dan berperang sesama sendiri. Hidup manusia rusak binasa. Manusia hidup penuh cemas, bimbang dan dalam ketakutan. Hilang keda­maian, keamanan, keharmonian, perpaduan dan kasih sayang. Musnahlah kebahagiaan.



IMAN DAN TAQWA SANGAT-SANGAT DITUNTUT



Iman dan taqwa adalah perkara yang sangat dituntut dalam Islam. Ia sangat penting untuk kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan lebih-lebih lagi di Akhirat. Hanya ibadah dan amalan orang yang bertaqwa saja yang diterima oleh Tuhan. Hanya orang yang bertaqwa saja yang akan selamat di sisi Allah.



Akan tetapi, oleh karena taqwa itu telah disalahartikan, telah diambil ringan dan telah tidak lagi dititikberatkan, maka ia telah terpinggir dan dipandang Error! Hyperlink reference not valid. jarang sekali diperkatakan, tidak diajar dan orang tidak paham lagi tentang taqwa dan tuntutan-tuntutan untuk menjadi orang yang bertaqwa. Orang tidak lagi bercita-cita untuk menjadi orang yang bertaqwa. Orang tidak mau lagi berkorban dan bersusah payah untuk mendapat taqwa. Taqwa sudah tidak lagi menjadi pakaian umat Islam. Taqwa sudah tidak lagi menjadi teras dalam kehidupan umat Islam dan tidak lagi menjadi tujuan dalam beragama.



NILAI TAQWA YANG SEBENARNYA



Taqwa terlalu mahal harganya. Ia aset bagi orang mukmin dunia dan Akhirat. Kalau umat Islam tahu akan nilai sebenarnya taqwa, mereka akan bergolok-bergadai untuk memperolehinya. Tetapi oleh karena mereka tidak tahu, mereka menganggap taqwa itu tidak ada nilai apa-apa dan tidak berharga. Mereka tidak sang­gup berusaha untuk mendapatkannya. Namun kalau karena uang, harta, kuasa, nama, glamour dan perempuan, mereka sanggup bersusah payah dan berkorban apa saja.



Kalau kita sebatas ingin menjadi Islam, itu mudah. Sebatas ingin digelar sebagai orang Islam, itu gampang. Hanya dengan mengucap dua kalimah syahadah, kita sudah Islam. Kalau sudah bersyahadah, orang tidak bisa kata seseorang itu kafir. Kalau orang itu mati, ditanam di kubur orang Islam. Tetapi sebatas Islam saja tidak memadai. Ia belum selamat dan menyela­matkan. Kalau kita baca Quran dan Hadis, tidak ada satu ayat pun yang mengatakan bahwa orang Islam itu selamat. Allah dan Rasul tidak pernah menjanjikan apa-apa kepada orang yang hanya semata-mata Islam.



Taqwa adalah keselamatan bagi orang mukmin di dunia dan Akhirat. Kita kena bersungguh-sungguh mendapatkannya. Kita kena berhempas pulas. Kalau bisa guna uang untuk mendapat­kan taqwa, gunalah uang. Kalau bisa guna tenaga, gunakanlah tenaga. Kalau bisa guna fikiran, gunalah fikiran. Kalau bisa guna ilmu, gunalah ilmu. Kalau perlu berkorban dan bersusah payah, kenalah berkorban dan bersusah payah. Karena taqwa itu terlalu mahal dan sangat berharga.



Kalau kita sanggup berkorban dan bersusah payah untuk mendapat dunia, kekayaan, jabatan yang tinggi dan gaji yang besar, kenapa kita tidak sanggup berkorban dan bersusah payah untuk mendapat taqwa? Kalau kita sanggup mati, sanggup sakit, sanggup menempuh segala macam halangan, sanggup tinggal­kan anak isteri, sanggup bertungkus-lumus mencari ilmu hingga sampai ke Eropah, England dan Mesir yang nilainya separa bumi, kenapa kita tidak sanggup bersusah payah untuk mendapatkan taqwa yang nilainya setinggi langit malahan lebih tinggi dari itu.



salam santunku



Von Edison Alouisci

Posting Komentar

0 Komentar

Top Post Ad

Below Post Ad