Type Here to Get Search Results !

"Mencari Nafkah Dan Tidak Menjadi Beban Orang Lain

0
Hendaknya para penuntut ilmu mencari nafkah utk biaya hidupnya terutama bagi mereka yg telah berumah tangga bahkan wajib hukumnya bagi mereka. Ia tdk boleh malas bekerja & menjadi beban orang lain, apalagi dg meminta-minta.

Sebab, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengecam perbuatan itu dalam sabda beliau

“Artinya: Seseorang senantiasa meminta-minta kepada manusia hingga ia akan datang pd hari Kiamat dalam keadaan tdk ada sekerat daging pun di wajahnya.”

Seorang penuntut ilmu harus mencari nafkah guna menjaga kehormatannya meskipun harus dg menjual kayu bakar di pasar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Artinya: Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya kemudian ia menjualnya sehingga dengannya Allah menjaga kehormatannya, itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada manusia, mereka memberinya / tdk memberinya.”

‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu pernah mengatakan, “Wahai para pembaca Al-Qur-an, berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan, carilah sebagian dari karunia Allah, & janganlah kalian menjadi beban bagi manusia.”

Sa’id bin al-Musayyib rahimahullaah mengatakan, “Tidak ada kebaikan pd orang yg tdk mengum-pulkan harta (mencari nafkah), yg dg harta itu ia bisa menjaga kehormatan dirinya & melaksanakan amanatnya.”

Namun, usaha yg dilakukannya haruslah dari usaha yg halal & dibenarkan syari’at serta tdk tamak dalam mengumpulkan harta karena harta adalah fitnah (ujian) bagi ummat Islam. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda

“Artinya: Setiap ummat memiliki fitnah (ujian), & fitnah ummatku adalah harta.”

Abu Darda' radhiyallaahu ‘anhu mengatakan, “Termasuk dari kefaqihan (kefahaman) seorang Muslim ialah upayanya dalam memperbaiki mata pencahariannya.” Beliau juga mengatakan, “Baiknya mata pencaharian termasuk dari baiknya agama, & baiknya agama termasuk dari kebaikan akal.”

Abu ‘Umar Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullaah menga-takan, “Menurut para ulama, harta yg tercela adalah harta yg dicari dari usaha yg tdk benar & diambil dari penghasilan yg tdk halal. Adapun atsar-atsar yg mencela harta sebagai berikut

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Artinya: Dua ekor serigala lapar yg dilepas di sekumpulan kambing tidaklah lebih merusak daripada kecintaan (ketamakan) seseorang terhadap harta & kehormatan dalam agamanya.”

‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Tidaklah Allah Ta’ala membukakan (pintu) dinar & dirham / emas & perak atas suatu kaum, melain-kan mereka akan menumpahkan darah mereka & memutuskan hubungan silaturahmi mereka.”

Penuntut ilmu yg diberikan keluasan rizki oleh Allah Ta’ala, ia wajib bersyukur kepada Allah Ta’ala karena dengannya ia bisa menuntut ilmu, membeli kitab-kitab & buku-buku yg bermanfaat, membantu dakwah, juga ia bisa menolong orang yg susah, bersedekah, menolong sanak famili, & meninggalkan ahli warisnya dalam keadaan berkecukupan.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Artinya: Tangan yg di atas lebih baik daripada tangan yg di bawah. Tangan yg diatas adalah yg memberi (berinfak) & tangan yg di bawah adalah yg menerima (meminta).”

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Sa’ad bin Abi Waqqash,

“Artinya: Sungguh, engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya (berkecukupan) lebih baik daripada engkau meninggalkannya dalam keadaan faqir, mereka menengadahkan tangannya (mengemis) kepada manusia. Dan tidaklah engkau menginfakkan suatu nafkah yg kautujukan utk mencari wajah Allah, melainkan engkau akan diberikan ganjaran pahala karenanya.”

(Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M)
___ Foote Notes
. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1474) & Muslim (no. 1040 (104), lafazh ini milik al-Bukhari, dari Sha-habat Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.
. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1471, 2075), dari Shahabat az-Zubair bin al-‘Awwam rahdiyallaahu ‘anhu.
. Atsar hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/725, no. 1330).
Ibid (I/720, no. 1312).
. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2336), Ahmad (IV/160), Ibnu Hibban (no. 2470-al-Mawaarid), & al-Hakim (IV/318), lafazh ini milik at-Tirmidzi, beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dari Shahabat Ka’ab bin ‘Iyadh radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 592).
. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhilihi (I724, no. 1323-1324).
. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (III/456, 460), at-Tirmidzi (no. 2376), & Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jaami’ (I/640, no. 1106), lafazh ini milik at-Tirmidzi, dari Shahabat Ka’ab bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 5620).
. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/712, no. 1293
. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1429), Muslim (no. 1033), & Ibnu ‘Abdil Barr (I/714, no. 1295), lafazh ini milik al-Bukhari, dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyal-laahu ‘anhuma.
. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5354), Muslim (no. 1628), & Ibnu ‘Abdil Barr (I/714, no. 1696), lafazh ini milik Muslim.

Posting Komentar

0 Komentar

Top Post Ad

Below Post Ad